Selasa, Desember 30, 2008

Dana Rp1 Miliar Masuk ke Kantong Orang Pusat?

NUNUKAN- Jajaran kejaksaan negeri Nunukan, saat ini tengah melakukan penyelidikan dugaan korupsi di dinas pendapatan daerah (Dispenda) Nunukan tahun 2005 lalu.
Dalam penyelidikan itu, diketahui jika dana sebesar Rp1 miliar mengucur tanpa jelas pertanggungjawabannya.
Kemana sebenarnya uang sebesar itu digunakan?.
Sumber korankaltim menyebutkan, dana itu larinya ke kantong 'orang pusat'. Hanya saja tidak jelas, siapa yang dimaksud telah menerima dana itu.
Menurut sumber itu, tahun 2005 lalu, Pemprov Kaltim beserta sejumlah Pemkab/Pemkot berusaha mengejar dana-dana dekonsentrasi dan otonomi daerah di pusat.
Nah, untuk memperlancar urusan tersebut, dengan dikoordinir Pemprov Kaltim, Pemkab Nunukan ikut menyetorkan Rp1 miliar dengan harapan, uang yang kembali ke daerah bisa lebih besar.
"Fatalnya, saat dana itu disetorkan ke Pemprov, tidak ada bukti pembayarannya,"jelas pejabat Pemkab Nunukan ini, yang meminta namanya tidak dikorankan.
Ia mengatakan, hal seperti ini sebenarnya sudah sering terjadi antara daerah dan orang-orang tertentu di pusat. Tujuannya tidak lain agar uang yang mengucur ke daerah bisa lebih banyak.
"Toh uang yang masuk ke kas daerah itu, nantinya juga akan digunakan untuk membangun. Bukan untuk kepentingan pribadi para pejabat daerah,"katanya.
Kasus uang pelicin untuk 'broker' di Jakarta sebenarnya sudah seringkali terungkap dimedia massa.
Misalnya saja, direksi Bank Indonesia harus menyetorkan uang ke sejumlah anggota DPR RI, agar meloloskan rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah.
Selain itu, yang paling mencolok, kasus alihfungsi lahan di Sumatera. Akibat menerima suap dari pejabat daerah, anggota DPR RI Al Amin Nasution harus dibui.
Ketua Serikat Pelajar Nunukan (SPN) Saddam Husin berpendapat, apapun yang akan dijadikan alasan bagi para pejabat di Dispenda kala itu, yang jelas Rp1 miliar uang negara harusnya dipertanggungjawabkan.
"Karena telah menggunakan uang rakyat tanpa bukti pengeluaran, pejabat di dinas itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum,"kata Saddam,hari ini.
Menurut Saddam, alasan para pejabat itu, menggunakan uang rakyat untuk disetorkan ke pusat, tidak lantas bisa dipercaya begitu saja.
"Dalam hukum, tentunya kita bicara yuridis formal. Ada bukti tertulis sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sama halnya kalau maling ayam ditanya polisi kemudian dia membantah, tentunya itu tidak bisa dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk membebaskannya,"kata Saddam.
Kepala kejaksaan negeri Nunukan, H Suleman Hadjarati sebelumnya berjanji akan memprioritaskan penanganan kasus dugaan korupsi Dispenda, pada tahun depan.
Pihaknya sendiri telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat termasuk Sekkab Nunukan, Zainuddin HZ dan mantan kepala Dispenda, Supardi Darmin.
Dalam kasus itu diketahui, dana sebesar Rp1 miliar tidak bisa dipertanggungjawabkan karena pengeluaran keuangan tidak didukung surat atau bukti yang kuat.
Suleman mengatakan, meskipun masih dalam penyelidikan, namun kedua kasus itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Sampai kapanpun, sampai matahari terbit warna merah, kasus itu akan ditanya terus. Bukan hanya masyarakat, tapi pimpinan kami juga akan menanyakan hal itu. Kami buat laporan bulanan, ini setiap ulang tahun selalu ditanyakan. Itu ditanyakan didepan umum oleh pimpinan,"katanya.(noe)

Senin, Desember 29, 2008

Kasus Korupsi Bermunculan, Kinerja Bawasda Dipertanyakan

NUNUKAN- Munculnya sejumlah kasus korupsi yang akhirnya menyeret beberapa pejabat di daerah ini, dinilai sebagai bentuk lemahnya pengawasan yang dilakukan badan pengawas daerah (Bawasda).
Serikat Pelajar Nunukan (SPN) mempertanyakan sejauhmana eksistensi lembaga yang kini berubah nama menjadi inspektorat kabupaten itu.
"Kalau misalnya lembaga itu bekerja maksimal, harusnya sinyal-sinyal adanya indikasi dugaan korupsi sudah bisa tertangkap,"kata ketua SPN, Saddam Husin.
Dengan demikian, kata Saddam, hasil pengawasan internal itu bisa menjadi masukan bagi pimpinan daerah ini untuk mengambil tindakan.
Yang justru membuat Saddam tercengang, Bawasda dalam pemeriksaan yang dilakukan ternyata belum menemukan adanya indikasi penyimpangan ditubuh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Hal itu diperkuat dengan pernyataan wakil bupati Nunukan, Kasmir Foret yang menyebutkan selama ini Bawasda belum pernah melaporkan adanya temuan yang terindikasi korupsi.
"Kalau seperti ini kan perlu dipertanyakan lagi, apakah inspektorat benar-benar bekerja sesuai tupoksinya?. Jangan lantaran hanya berbentuk pengawasan internal, ada hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi,"katanya.
Padahal, aturan yang digunakan jaksa maupun Bawasda, sumbernya hanya satu.
"Saya yakin, pegangan jaksa dan inspektorat, pasti sama. Kalau bertahun-tahun tidak pernah ada temuan, patut diduga ada yang bermain disini,"ujarnya.
Saddam mengatakan, tindakan preventif perlu dilakukan Inspektorat untuk mencegah semakin banyaknya penyimpangan yang dilakukan oknum di SKPD.
"Katakan apa yang benar, jangan ada yang coba-coba ditutupi,"katanya.
Dalam persoalan lainnya, Saddam juga menyoal pengawasan internal yang dilakukan terhadap PNS di daerah ini.
Ia memberikan contoh, bupati Nunukan dengan tegas mengeluarkan surat keputusan yang melarang SKPD menerima tenaga honor, kenyataannya masih banyak instansi yang tetap melakukan perekrutan pegawai.
"Tentunya untuk membiayai para pegawai ini, akan dibebankan pada anggaran daerah,"katanya.
Masalah lainnya, banyak perilaku para pegawai yang masih luput dari perhatian inspektorat.
"Masih banyak pegawai yang ke tempat-tempat maksiat, melakukan perjudian termasuk beristri dua, tapi belum ada tindakan apa-apa dari Inspektorat. Padahal tindakan mereka itu sudah jelas melanggar aturan kepegawaian,"katanya.
Soal perilaku para PNS ini, Inspektur kabupaten Nunukan, Abdul Karim mengatakan, pihaknya akan melakukan tindakan sepanjang ada pengaduan dari masyarakat.
"Selama ini belum ada masyarakat yang mengadukan perilaku para PNS di Nunukan,"ujarnya, saat diwawancarai baru-baru ini.(noe)

Keluarga Meninggal, Terdakwa Korupsi Lampiaskan Kekesalan Pada Jaksa

NUNUKAN- Berada dibalik jeruji selama berbulan-bulan, apalagi sampai dituduh melakukan tindak pidana korupsi, ternyata tak hanya menjadi beban bagi pelakunya. Orang terdekatpun menanggung resikonya, bahkan sampai meninggal dunia.
Hal seperti itulah yang dialami mantan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basri, yang menjadi terdakwa dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal.
Sejak Hasan mendekam dibui, sudah dua keluarganya yang meninggal dunia. Ia menganggap, kepergian kerabatnya itu, akibat ikut menanggung beban yang dideritanya. Tak heran jika Hasan melampiaskan kekesalannya pada jaksa.
Karena hasil penyidikan jaksa, Hasan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp1,5 miliar itu.
Dari infromasi yang diterima korankaltim, dua kerabat Hasan itu yakni ipar dan tantenya.
"Sukses ya ipar dan tante saya meninggal. Sudah puas ya pak Satria,"kata Hasan sambil menyalami Satria Irawan, salah seorang jaksa kasus itu.
Kekesalan itu ditumpahkan Hasan sesaat sebelum dimulainya sidang di pengadilan negeri Nunukan, baru-baru ini.
Hasan dijebloskan ke rutan Mapolres, Nunukan, pada medio Juli lalu, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka. Selain harus menjalani hari-harinya tanpa berada disamping keluarga, Hasan juga harus rela kehilangan jabatannya.
Oktober, atau beberapa saat setelah berkasnya dilimpahkan ke PN Nunukan, jabatan kepala Bapedalda yang selama ini disandangnya, dicopot bupati Nunukan, Abdul Hafid Ahmad. Ia menjadi pejabat non job setelah digantikan Tommi Harun.
Tak kalah menderitanya, mantan kabid pemantauan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi. Pelaku dalam kasus yang sama itu, juga harus berpisah berbulan-bulan dari anak dan istrinya.
"Saya diberikan amanah oleh Allah untuk menjaga istri dan anak saya, tapi selama dipenjara amanah itu tidak dapat saya jalankan,"kata Thoyib baru-baru ini.
Ia merasa, dirinya sudah di dzolimi oleh jaksa.
"Saya yang tidak tahu apa-apa dalam kasus itu justru dijadikan tersangka. Saya benar-benar dizholimi,"katanya.
Tak hanya berpisah dari keluarga, Thoyib juga harus rela kehilangan jabatannya setelah dicopot bupati Nunukan. Bahkan usahanya, sebuah warung bakso yang selama ini menunjang penghasilan keluarga, terpaksa harus tutup karena tak ada lagi yang mengurus.
"Allah pasti akan membalas orang yang telah berbuat dzolim terhadap saya,"katanya.
Thoyib merupakan pejabat pertama di Nunukan yang dijebloskan ke tahanan karena disangka melakukan tindakan korupsi.
"Saya ini perintis,"katanya.
Dimintai pendapatnya soal kekesalan para terdakwa ini, jaksa Satria Irawan hanya menanggapi dingin.
"Kalau masalah itu (keluarga meninggal,red), kembali lagi yang namanya takdir. Kalau itu sudah menjadi kehendak yang di Atas, mau dibilang apa?,"katanya.
Ia mengatakan, sebagai orang yang beragama, masing-masing manusia mempunyai keyakinan.
"Dalam penegakan hukum kami tidak melihat siapa dia. Kami tidak melihat bahwa ini Hasan Basri, tapi karena ada tindakan korupsi dalam kegiatan pembuatan dokumen Amdal itu. Kebetulan dia yang menjadi tersangka,"katanya.
Kepala kejaksaan negeri Nunukan, Suleman Hadjarati menegaskan, pihaknya sama sekali tidak pernah mencari-cari kesalahan disuatu instansi pemerintah.
"Kami melakukan tindakan ini bukan karena sengaja diada-adakan. Kalau dalam pelaksanaan kegiatan itu sudah sesuai prosedur, mengikuti aturan, tidak mungkin kami mengambil tindakan hukum,"katanya.(noe)

Minggu, Desember 28, 2008

Camat Nunukan Tolak Tandatangan SPPT

Pembebasan Tanah Ternyata Tak Disertai Dokumen Sah

NUNUKAN- Keterlibatan seluruh anggota panitia 9 dalam dugaan korupsi pengadaaan tanah tahun 2004 lalu, semakin menguat. Sebab, tim yang diketuai bupati Nunukan, Abdul Hafid Ahmad itu ternyata tidak melakukan tugasnya untuk melakukan verifikasi terhadap status tanah itu.
Kajari Nunukan, Suleman Hadjarati mengungkapkan, surat pernyataan penguasaan tanah (SPPT) yang dijadikan dasar ganti rugi tanah tersebut, ternyata tidak sah.
"Camat tidak tanda tangan, seharusnya SPPT itu tidak sah. Kenapa (tanahnya) harus dibayar?,"tanya Kajari.
Dari hasil penyidikan, kata Suleman, diketahui jika camat Nunukan kala itu, Rachmadji Sukirno, ragu menandatangani SPPT yang sudah terlebih dahulu ditandatangani lurah Nunukan Selatan, Arifuddin yang telah menjadi tersangka kasus itu.
"Selaku camat dia ragu, karena ini masih tanah negara. SPPT yang bermasalah ini tidak ditandatangani camat, tapi kenapa itu bisa berlaku di Pemda,"katanya.
Arifuddin ditetapkan sebagai tersangka karena jaksa menilai, ia telah melakukan kesalahan fatal, sebab mengeluarkan SPPT tanpa dasar yang kuat.
"Harusnya SPPT tidak diterbitkan,"ujar Suleman.
Ihwal munculnya kasus tanah ini bermula dari rencana pemkab Nunukan, untuk membebaskan lahan seluas 62 hektar yang terletak persis di depan kantor bupati Nunukan, Sungai Jepun.
"Kemudian ada spekulan tanah yang menemui orang yang menguasai tanah itu, dalam hal ini Makmun. Oleh spekulan itu, tanahnya kemudian diuruskan SPPT. Padahal sebelumnya sama sekali tidak punya dokumen apa-apa, hanya pengakuan,"ujarnya.
Pengakuan itu berbentuk skep, itupun luasnya hanya 8 hektar, bukan 62 hektar.
"Skep itu tidak diakui negara. Itu bukan tanda bukti,"katanya.
Skep tersebut atas nama M Yusuf yang dikeluarkan tahun 1981.
"Yang pasti bukan pemerintah yang mengeluarkan skep itu, dari BPN juga bukan. Tidak tahu siapa yang mengeluarkan,"katanya.
Dengan kondisi demikian, katanya, harusnya Arifuddin tidak boleh mengeluarkan SPPT, sebab tidak ada pendukungnya.
Diuraikannya, untuk pengurusan SPPT mestinya ada pendukung berupa keterangan hak garap.
"Nah hak garap ini yang belum pernah dimiliki,"ujarnya.
Menurutnya, ada aturan dari menteri dalam negeri, untuk pengaturan hak garap, camat hanya bisa mengeluarkan 2 hektar kemudian bupati seluas 10 hektar. Selanjutnya 50 hektar menjadi wewenang gubernur selebihnya wewenang menteri.
"Kalau 62 hektar harusnya menteri yang mengeluarkan hak garapnya,"katanya.
Mestinya, kata Suleman, ada sertifikat tanah sebagai bukti alas hak, yang dijadikan dasar bagi panitia 9 untuk membebaskan tanah.
"Kenyataannya kan sertifikat tidak ada, SPPT juga tidak sah. Harusnya tanah itu tidak dibebaskan,"ujarnya.
Menurutnya, SPPT bukanlah alas hak melainkan salah satu syarat untuk mengajukan permohonan sertifikat tanah.
"Hekekatnya, itu semua tanah negara. Jadi sewaktu-watu hak milik itu bisa diambil, makanya disini ada penggantian,"katanya.
Namun, jika tanah itu belum alas hak, penggantiannya cukup dengan SK bupati bukan melalui panitia pengadaan tanah.
"Ini kan dasarnya menggunakan SPPT yang dibuat tahun 2001. Kemudian tahun 2004 sudah diganti rugi karena dinilai sebagai hak milik. Apakah SPPT sudah merupakan alas hak?, apalagi SPPT itu tidak sah,"katanya.(noe)

Jumat, Desember 26, 2008

Kajari Dukung KPK Ambil Alih Kasus Tanah

NUNUKAN- Kepala kejaksaan negeri Nunukan, Suleman Hadjarati merespon positif wacana agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi dan mengambil alih kasus pengadaan tanah di Nunukan. Wacana itu dilontarkan ketua LSM L-Heirindo, Mansyur Gecong.
“Saya pikir itu positif saja. Karena itu juga merupakan dorongan terhadap pusat,”kata Suleman hari ini.
Menurut Suleman, pihaknya tidak akan keberatan jika kasus itu di supervisi.
“Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) sudah pernah kami sampaikan juga (kepada KPK,red), tidak ada yang kami tutup-tutupi,”katanya.
Ia mengatakan, baik Kejari Nunukan maupun KPK, tujuannya sama yakni penegakan hukum. Sehingga, tidak perlu ada hal-hal yang disembunyikan.
“Antara KPK dan Kejaksaan tidak ada kompetitif. Yang ada kita sama-sama melakukan penegakan hukum khususnya untuk tindak pidana korupsi. Kalau kami misalnya atau polisi dan kejaksaan lambat, itu bisa disupervisi,”katanya.
Suleman menilai, sebagai lembaga yang superbody, KPK memiliki fasilitas yang begitu lengkap. Dalam undang-undang sendiri, lembaga yang dipimpin Antasari Ashaar itu memiliki kewenangan yang begitu besar.
“Sehingga dia bisa leluasa. Jangan heran kalau dia bisa lebih cepat. Dia tidak pelu meminta ijin presiden, kalau kami (Kejari,red) dihambat ijin itu,”ujarnya.
Ia mengakui, kendala serupa tidak hanya dihadapi para penegak hukum di Nunukan.
“Sekarang inikan, apakah desakan masyarakat agar ijin presiden dikeluarkan itu mendengung sampai di istana negara?. Kalau memang sampai disana, mungkin ada sentuhan,”kata dia.
Yang pasti, sebut Kajari, pihaknya ingin agar ijin presiden segera turun sehingga pihaknya bisa memeriksa bupati Bulungan Budiman Arifin dan bupati Nunukan Abdul Hafid Ahmad.
“Kami juga ingin ini cepat selesai. Kalau itu selesai, yang lain bisa dikerjakan lagi. Kami ingin kasus yang lain juga diselesaikan,”ujarnya.
Bupati Nunukan, Abdul Hafid Ahmad, secara ex efficio menjabat ketua panitia 9, dalam pengadaan tanah yang menelan APBD Nunukan tahun 2004 sebesar Rp7 miliar itu. Sebelumnya, penyelidik pernah memeriksa bupati Bulungan Budiman Arifin, sebagai saksi. Ia diperiksa terkait jabatannya kala itu sebagai sekda Nunukan.
Suleman pernah menjelaskan, sebagai ketua tim, bupati akan dimintai keterangannya, sejauhmana pengetahuannya tentang pembentukan tim 9, dalam rangka pengadaan tanah yang rencananya diperuntukkan ruang terbuka itu.
"Itu paling tidak akan kita konfirmasikan. Apakah beliau tahu, apakah benar beliau mengeluarkan surat perintah itu,"kata mantan jaksa di gedung bundar kejagung RI ini.
Suleman mengatakan, pentingnya memeriksa bupati, karena kasus yang terjadi di kabupaten Nunukan itu secara langsung berhubungan dengan tugas bupati yang menjabat ketua panitia 9.
Bupati juga telah mengeluarkan keputusan, yang isinya akan dikonfirmasikan kebenarannya.
"Kalau keterlibatannya, saya belum bisa mengatakannya,"katanya.
Pada tanggal 23 Juni lalu, Suleman telah memaparkan perkembangan kasus pengadaan tanah, di hadapan Jaksa Agung RI Hendarman Supandji.
Pemaparan itu, jelasnya, terkait permintaan ijin kepada presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap Abdul Hafid Ahmad.
Karena itu Suleman mempersilahkan jika KPK mau mengambil alih kasus pengadaan tanah itu.
“Cuma untuk melakukan supervisi, tentunya ada alasan dari KPK. Misalnya kasusnya mengendap, jalan ditempat. Itu langsung KPK yang supervisi, tidak mesti Kejari yang melempar kasus itu ke KPK,”katanya.
Kejari Nunukan telah menetapkan tiga tersangka menyusul penahanan terhadap Pj Sekcam Nunukan Selatan, Arifuddin, mantan bendahara Setkab Nunukna, Simon Sili dan kepala BPN Nunukan, Darmin Djemadil.
Sebelumnya, Mansyur Gecong mengatakan, dengan segala keterbatasan yang dimiliki jajaran Kejari Nunukan, harusnya KPK segera turun tangan menuntaskan kasus dugaan korupsi itu.
“KPK kewenangannya lebih besar, tanpa ijin presiden bisa melakukan pemeriksaan terhadap bupati. Kejari Nunukan sejak bulan Juni sudah mengajukan ijin presiden, tapi sampai hari ini belum mendapatkan tanggapan. Makanya sudah saatnya KPK mengambil alih kasus ini,”katanya.(noe)

Kamis, Desember 25, 2008

Dua Jaksa Kejari Nunukan ‘Tersingkir’

NUNUKAN- Kejaksaan agung RI, melakukan mutasi terhadap dua jaksa di Kejaksaan negeri Nunukan. Mereka yakni kasubsi pra penuntutan Satria Irawan dan kasi pidana umum, Jabbal Nur.
“Benar, saya sudah mendapatkan SK-nya,”kata Satria Irawan, kepada korankaltim hari ini.
Namun Satria tidak tahu persis, kapan ia akan mulai bertugas di tempat barunya. Ia mengelak, jika mutasi itu sebagai hukuman terhadap dirinya.
“Kalau ini hukuman, saya tidak tahu salah saya apa,”katanya.
Satria selama ini dikenal aktif dalam penyelidikan dan penyidikan sejumlah kasus dugaan korupsi di Nunukan. Bahkan, ia lebih dikenal publik di Nunukan ketimbang jaksa lainnya dalam penanganan kasus korupsi.
Dalam SK yang diterimanya itu, Satria dipindahkan ke kejaksaan tinggi DKI Jakarta. Sedangkan Jabbal Nur, akan menempati posisi barunya di Kejari Tenggarong.
Satria sendiri memastikan, kepindahannya ke DKI Jakarta, tidak akan berpengaruh pada proses hukum terhadap sejumlah dugaan korupsi yang kini bergulir di pengadilan negeri Nunukan.
“Ya memang ini sudah waktunya pindah. Saya tidak tahu kapan baru dipindah, itu tergantung pimpinan (Kajari,red) saja,”katanya.
Dihubungi terpisah, Kajari Nunukan Suleman Hadjarati mengakui, jika ada sejumlah jaksa yang akan dipindah.
“Yang saya dengar pak Satria mau dipindah kalau yang lain tidak tahu. Tapi saya sendiri belum pernah mendapatkan SK mutasi itu dari pimpinan (jaksa agung,red),”katanya.
Bisa jadi, sebutnya, SK itu baru diserahkan kepada yang bersangkutan.
“SK kolektif belum pernah saya terima. Dalam SK itu kan ada beberapa nama yang dimutasi,”katanya.
Kajari mengatakan, jika melihat tempat kepindahannya, Satria bukanlah mendapatkan hukuman.
“Sepertinya itu suatu promosi, walaupun jabatannya eselon lima. Cuma dia bisa memeriksa eselon satu. Tapi saya juga belum tahu apakah benar dipindah. Saya dengar mereka memang sudah dapat SK,”ujarnya.
Jika dirinya telah mendapatkan SK itu, dalam waktu satu bulan selaku Kajari dirinya harus memberikan perintah kepada yang bersangkutan untuk bertugas di tempat baru.
“Tapi saya juga bisa, tidak segera memerintahkan pindah ke tempat tugas baru, dengan alasan dia masih saya perlukan untuk menangani hal spesifik. Sehingga bisa ditangguhkan beberapa saat. Saya punya kewenangan untuk itu,”ujarnya.(noe)

Rabu, Desember 24, 2008

Dua Kali PH Tak Datang, Pemeriksaan Arifuddin Dibatalkan

NUNUKAN- Jaksa penyidik Kejari Nunukan, terpaksa membatalkan pemeriksaan pendalaman terhadap Arifuddin, tersangka dugaan tindak pidana korupsi, pengadaan tanah.
Arifuddin tak bisa diperiksa lantaran penasehat hukumnya, M Hasaloan Sinaga, tidak bisa mendampinginya saat akan diperiksa.
Sebelumnya, penyidik telah dua kali melayangkan surat kepada Hasaloan untuk mendampingi kliennya tersebut. Terakhir, diminta hadir pada Rabu (17/12), Hasaloan juga tak bisa datang. Padahal sebagai orang yang diberikan kuasa, tentunya hak-hak kliennya menjadi tanggungjawab PH.
“Kami konfirmasi ke PH-nya, tapi alasannya masih berada di Jakarta. Katanya masih ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,”kata jaksa penyidik, Satria Irawan.
Meski kepada penyidik, Hasaloan mengaku tak bisa hadir lantaran berada di Jakarta, kenyataannya, pada hari akan diperiksanya Arifuddin, ia justru sibuk melayangkan somasi kepada Kapolres Nunukan dan koran kaltim, lewat surat yang ditandatanganinya di Nunukan.
Somasi itu terkait pemberitaan harian ini, yang dianggap merugikan kasubdin bina marga Nunukan, Khotaman, yang juga klien Hasaloan.
“Kalau masalah itu kami tidak tahu, yang jelas dia mengaku berada di Jakarta,”tegas Satria.
Rencananya, kata Satria, Pj Sekcam Nunukan Selatan itu akan menjalani pendalaman terkait statusnya sebagai tersangka.
“Pendalaman itu berkaitan dengan materi perkara. Tapi karena tidak bisa pendalaman, Arifuddin hanya sekali kami periksa sebagai tersangka dengan didampingi PH. Kami pikir keterangannya yang dulu sudah cukup. PH tidak hadir, tidak masalah”ujarnya.
Hanya saja, kata dia, ketidakhadiran PH justru merugikan tersangka.
Selain diperiksa sebagai tersangka, sejak dijebloskan ke Lapas Nunukan, Sungai Jepun, awal bulan lalu, Arifuddin juga pernah diperiksa sebagai saksi.
“Dia sudah kami periksa sebagai saksi tersangka Simon Sili. Dengan keterangan tersangka lainnya, ditambah keterangan saksi-saksi, kami pikir sudah cukup untuk membuktikan perbuatan dia,”kata Satria optimis.
Dengan demikian, pada Selasa (23/12) lalu, berkas perkara Arifuddin telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh jaksa penuntut umum. Direncanakan, Januari tahun depan, sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Nunukan.
Lebih lanjut Satria menjelaskan, selaku PH, Hasaloan dikuasakan untuk mendampingi Arifuddin selama penyidikan.
“Nanti kalau ke penuntutan kita tidak tahu siapa PH yang mendampingnya. Itu bukan kewenangan kami lagi di kejaksaan,”ujarnya.
Menurutnya, jika nantinya tidak ada PH yang mendampingi Arifuddin dalam persidangan, pengadilan bisa saja menunjuk PH secara prodeo alias pengacara gratis.
“Jadi kalau sudah di pengadilan, bisa saja PH yang dikuasakan lain lagi. Ada surat kuasa baru yang ditujukan kepada pengadilan,”katanya.
Secara substansi, kata Satria, penetapan Arifuddin sebagai tersangka, terkait jabatannya sebagai anggota panitia 9 merangkap lurah Nunukan Selatan.
“Lurah berkewajiban melakukan verifikasi status hukum tanah. Dia yang punya lokasi,”ujarnya.
Proyek pengadaan tanah seluas 62 hektar itu menelan anggaran hingga Rp7 miliar dari APBD Nunukan tahun 2004 silam.(noe)

Selasa, Desember 23, 2008

Kejari Nunukan Tetapkan Tiga Tersangka Dugaan Korupsi DAK-DR


NUNUKAN- Penyidik kejaksaan negeri Nunukan, Selasa (23/12) hari ini secara resmi menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus dana reboisasi (DAK-DR). Ketiganya yakni mantan pimpro kegiatan, Nazaruddin Semad, kuasa direktur PT Dameru Putri Utama, Teddi Wiliam dan kepala cabang PT Rashmico Prima Nunukan, Djunaidi. Namun, dua nama terakhir hingga kini masih buron.
Tadi, untuk pertama kalinya Nazaruddin menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Ia tiba di kantor Kejari Nunukan, Jl. Ujang Dewa pukul 14.00 wita dengan menggunakan seragam PNS warna cokelat muda. Nazaruddin menjalani pemeriksaan sekitar satu jam yang dilakukan jaksa penyidik, Satria Irawan, di lantai I kantor itu.
“Mulai Selasa, 23 Desember 2008, status Nazaruddin dari saksi sudah resmi menjadi tersangka. Kami melakukan pemeriksaan Nazaruddin Semad sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi DAK-DR tahun 2001-2002 di Nunukan,”kata Satria kepada korankaltim.
Proyek itu, sebut Satria, dikerjakan kontraktor PT Dameru Putri Utama dan konsultan pengawas PT Rashmico Prima.
“Dalam pemeriksaan hari ini, kami hanya menyampaikan pemberitahuan kepada tersangka terkait hak-haknya sebagai tersangka yang dilindungi undang-undang,”ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, dirinya juga sudah menawari Nazaruddin, apakah akan didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaannya sebagai tersangka?.
“Ia akan mencari penasehat hukum untuk mendampinginya,”ujarnya.
Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka terkait jabatannya selaku pimpinan proyek kegiatan reboisasi pada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kabupaten Nunukan. Kasus DAK-DR diduga merugikan negara sebesar Rp1,9 miliar.
“Dalam hal ini, dia bertindak sebagai penanggungjawab kegiatan tersebut,”jelas Satria.
Namun tak seperti tersangka lainnya, begitu resmi menjadi tersangka Nazaruddin tak langsung dijebloskan ke tahanan.
“Kami menganggap beliau kooperatif dalam pemanggilan selama ini. Kami menilai belum perlu dilakukan penahanan, karena penetapan tersangka tidak serta merta harus dilakukan penahanan. Memang ada yang langsung dilakukan penahanan tapi ada juga yang ditetapkan tersangka tidak dilakukan penahanan,”kata Satria beralasan.
Sementara soal kaburnya dua pengusaha yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Kejari Nunukan terus berusaha melakukan pencarian.
“Kami sudah memasukkan keduanya dalam daftar pencarian orang (DPO), yang ditembuskan kepada pihak kepolisian resort Nunukan,”katanya.
Satria mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali melakukan pemanggilan terhadap kedua pengusaha itu, namun mereka tak pernah datang.
“Mulai dari tahun 2005 sampai terakhir bulan ini, mereka tidak datang,”kata dia.
Jaksa menduga, kedua perusahaan itu fiktif. Dalam dokumen, disebutkan, PT Dameru Putri Utama beralamat di Nunukan, serta dua kantor di Jakarta. Sedangkan PT Rashmico Prima berkantor cabang di Nunukan, kemudian memiliki kantor di Tanjung Selor, Bulungan dan Balikpapan.
“Kami sudah berupaya mencari, ternyata kantor ini tidak bertuan,”katanya.(noe)

Berkas Tiga Tersangka Kasus Tanah Dinyatakan Lengkap

NUNUKAN- Jaksa penuntut umum (JPU) kasus dugaan korupsi pengadaan tanah, Selasa (23/12) hari ini menyatakan berkas tiga tersangka dari penyidik telah lengkap (P-21).
Dengan demikian, JPU tinggal melimpahkannya ke pengadilan negeri Nunukan.
Satria Irawan, salah seorang JPU mengatakan, pelimpahan berkas ketiga tersangka ini rencananya dilakukan pada Januari tahun depan.
“Penyidik telah menyerahkan berkas kasus itu ke penuntutan. Dan JPU menyatakan berkas itu sudah P-21,”jelasnya.
Dalam menangani perkara ini, JPU terbagi dalam tiga tim. Hanya saja, berkas tersangka Arifuddin dan Darmin Djemadil akan dibuatkan satu sedangkan Simon Sili dibuat terpisah.
“Jadi dua orang anggota tim 9 berkasnya sendiri sedangkan bagian keuangannya dibuat sendiri juga,””jelas Satria.
Kasus pengadaan tanah ini ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan sejak Rabu (20/2) lalu.
Proyek pengadaan tanah seluas 62 hektar itu menelan anggaran hingga Rp7 miliar dari APBD Nunukan tahun 2004 silam.
Dalam kasus itu, penyidik telah menahan Pj Sekcam Nunukan Selatan, Arifuddin pada Senin (3/1) lalu. Saat kejadian, Arifudin termasuk salah satu anggota tim 9, terkait jabatannya sebagai lurah Nunukan Selatan kala itu.
“Sebagai lurah, dia memiliki wilayah, dimana tanah tersebut terletak. Nah dialah (Arifudin,red) yang tahu bagaimana status tanah tersebut. Jadi dia harus tahu semuanya, kalau tanah-tanah yang dimiliki orang-orang disitu, merupakan tanah negara,”kata Kajari Nunukan, Suleman Hadjarati.
Sehari berikutnya, giliran bendahara Setkab Nunukan Simon Sili, yang diangkut ke lembaga pemasyarakat Nunukan, setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan Simon sebagai tersangka terkait jabatannya sebagai bendahara setkab Nunukan, yang mengeluarkan uang pembayaran tanah.
“Sebagai bendahara, dia punya kewajiban untuk memverifikasi data-data itu. Tapi alasannya, dia mencairkan dana tersebut atas perintah pimpinannnya yakni sekda Nunukan kala itu,”ujar suleman.
Menurutnya, selaku bendahara Simon memiliki kewajiban untuk melakukan verifikasi. Simon juga harusnya memberikan advis kepada yang memerintahkannya, jika pencairan dana tersebut tidak bisa dilakukan. Namun hal itu tidak dilakukannya dan justru ia terus bekerja sesuai perintah atasannya.
“Kalaupun ada perintah, akhirnya kepada dia-dia juga terakhir kalinya. Umpamanya, kamu harus kerjakan itu, nah tinggal dalam situasi bagaimana perintah pimpinan itu memaksa dia. Sehingga nanti kita lihat, siapa yang dimaksud memerintahkan dia itu. Kan kelihatan juga,”kata Suleman.
Setelah Simon, sehari berikutnya giliran kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nunukan, Haji Darmin Djemadil yang menjadi tersangka kasus itu.
Saat pengadaan tanah tahun 2004 lalu, Darmin terlibat dalam panitia 9 pengadaan tanah.
“Kemarin kan sudah dari bawah. Mulai dari mantan Lurah Nunukan Selatan yang merupakan anggota tim 9. Kemudian bagian atas kan juga sudah terlihat dengan jelas. Dia (Darmin,red) juga sebagai wakil ketua tim 9,”katanya.(noe)

Senin, Desember 22, 2008

Kepala BPN Kembali Diperiksa Penyidik

NUNUKAN- Tersangka kasus pengadaan tanah, yang juga kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nunukan, Darmin Djemadil, Senin (22/12) hari ini kembali menjalani pemeriksaan di kantor Kejari Nunukan.
Ia tak didampingi penasehat hukumnya, sebab dalam pemeriksaan yang berlangsung tadi, Darmin hanya diperiksa sebagai saksi terhadap tersangka lainnya, mantan bendahara Setkab Nunukan, Simon Sili.
Darmin tiba di kantor Kejari Nunukan, Jl, Ujang Dewa pukul 13.55 wita dengan menumpang bus tahanan Kejari Nunukan, dari lembaga pemasyarakat (Lapas) sungai Jepun tempatnya di tahan.
Ia datang seorang diri dengan menggunakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang cokelat dan menggunakan sandal.
Darmin tampak lebih kurus dan kelihatan pucat dibandingkan saat pertama kali ia dijebloskan ke tahanan bulan lalu.
Iapun menjalani pemeriksaan hingga pukul 17.00 wita, di lantai I dengan jaksa penyidik Satria Irawan.
Satria kepada korankaltim usai pemeriksaan itu menyebutkan, Darmin diperiksa sebagai saksi dalam perkara kasus pengadaan tanah dengan tersangka Simon Sili.
“Kami melakukan pemeriksaan terhadap saksi untuk mendalami hubungan antara tersangka Simon dengan saksi Darmin,”katanya.
Dalam hal ini, kata Satria, pemeriksaan itu menyangkut pembayaran tanah seluas 62 hektar yang jadi objek kasus ini.
“Kami ingin mendalami hubungan antara panitia 9 dan bendahara dalam pembayaran tanah tersebut. Larinya kesana nantinya,”katanya.
Darmin mendekam di lapas Nunukan sejak Rabu (6/11) menyusul penetapannya sebagai tersangka dalam kasus itu.
Saat pengadaan tanah tahun 2004 lalu, Darmin terlibat dalam panitia 9 pengadaan tanah.
Kepala kejaksaan negeri Nunukan H Suleman Hadjarati SH MH, mengatakan, sejak lama sebenarnya peran Darmin sebagai kepala BPN sudah ketahuan.
“Kemarin kan sudah dari bawah. Mulai dari mantan Lurah Nunukan Selatan yang merupakan anggota tim 9. Kemudian bagian atas kan juga sudah terlihat dengan jelas. Dia (Darmin,red) juga sebagai wakil ketua tim 9,”katanya.
Darmin merupakan tersangka ketiga yang dijebloskan ke tahanan.
Sebelumnya, Senin (3/1) lalu Kejari Nunukan juga telah menahan Pj Sekcam Nunukan Selatan, Arifudin, SE. Saat kejadian, Arifudin termasuk salah satu anggota tim 9, terkait jabatannya sebagai lurah Nunukan Selatan kala itu. Sehari kemudian, giliran bendahara Setkab Nunukan Simon Sili, yang diangkut ke lembaga pemasyarakat Nunukan sekitar pukul 15.00 wita kemarin.
Kasus pengadaan tanah ini ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan sejak Rabu (20/2) lalu. Suleman menjelaskan, sesuai data yang dikumpulkan penyidik, diketahui 47 hektar tanah yang dibebaskan tidak dilindungi dokumen.
Proyek itu sendiri menelan anggaran hingga Rp7 miliar dari APBD Nunukan tahun 2004 silam.
Kejaksaan negeri Nunukan telah menyita seluas 62 hektar tanah di Sungai Jepun, yang lokasinya tak jauh dari Kantor Bupati Nunukan. Penyitaan tersebut didasarkan pada penetapan penyitaan Pengadilan Negeri Nunukan Nomor 59/PEN.PID/2008/PN. NNK, tanggal 24 Maret 2008.Tak hanya Bupati Nunukan, kasus itu juga menyeret Bupati Bulungan, Budiman Arifin, yang waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Nunukan. Budiman pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus itu.
Selain terhadap Budiman, Kejari Nunukan juga telah melayangkan ijin kepada presiden untuk memeriksa bupati Nunukan Abdul Hafid Ahmad, terkait jabatannya selaku ketua tim 9 pengadaan tanah tersebut. Tindakan hukum terhadap keduanya akan dilakukan menyusul turunnya ijin presiden tersebut.(noe)

Minggu, Desember 21, 2008

BAP Rahmad Akan Dibacakan Disidang Korupsi Amdal

NUNUKAN- Tiga kali dipanggil tak juga hadir, jaksa penuntut umum (JPU) akan membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Rahmat, di Pengadilan Negeri Nunukan, pada persidangan dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal dengan terdakwa, mantan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basri dan mantan kabid pemantuan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi.
Salah seorang JPU kasus itu, Satria Irawan, mengatakan, keterangan Rahmad yang juga mantan ketua panitia lelang kegiatan Amdal, perlu dibacakan untuk membuktikan perbuatan kedua terdakwa. Rahmad sendiri, hingga kini entah menghilang kemana.
“yang pasti sudah lebih tiga kali kami panggil, tapi tidak datang. Kami tidak tahu alamatnya dimana,”kata Satria melalui telepon selulernya, hari ini.
Setahu Satria, saksi itu sedang menjalankan tugas negara. Hanya saja, hal itu belum bisa dibuktikan.
Satria mengatakan, mengingat pentingaya keterangan saksi yang pernah disampaikan saat penyidikan lalu, jaksa akan menggunakan pasal 162 KUHAP agar diperkenankan membaca BAP dalam persidangan itu.
Dalam pasal itu disebutkan, jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir disidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya dibacakan.
Menurut Satria, pembacaan BAP Rahmad, akan dilakukan pada sidang yang juga akan menghadirkan saksi Herlina. Herlina merupakan saksi terakhir yang akan dihadirkan pada persidangan itu. Saat peristiwa dugaan korupsi terjadi, Herlina menjabat sebagai kasubsi rencana kegiatan lingkungan/rencana pengelolaan lingkungan (RKL/RPL).
Herlina sebelumnya telah dimasukkan daftar cekal. Kajari Nunukan, Suleman Hadjarati mengatakan beberapa waktu lalu pihaknya memang sempat melakukan pencekalan terhadap Herlina, salah seorang pejabat Bapedalda yang dinilai berpotensi menjadi tersangka kasus pembuatan dokumen Amdal.
"Waktu itu kami mengantisipasi, karena dia juga bisa berpotensi, supaya kami tidak kecolongan. Begitu kami gali lebih jauh, ternyata sementara ini belum,"ujarnya.
Sidang itu sendiri baru bisa dilaksanakan pada Senin (5/1) mendatang. Sidang harus ditunda hingga tiga pekan, karena salah seorang hakim berhalangan hadir dalam sidang.
“Salah satu hakimnya kebetulan cuti. Waktu itu ia gunakan untuk medical cek up,”kata Satria.(noe)

Jumat, Desember 19, 2008

Khotaman Bantah Pernyataan Kapolres

NUNUKAN- Kasubdin bina marga, dinas PU Nunukan, Khotaman membantah pernyataan Kapolres Nunukan, AKPB Purwo Cahyoko melalui media ini, yang menyebutkan dirinya pernah diperiksa di unit P3D Polres Nunukan.
Menurutnya, tidak benar pemberitaan yang menyebutkan dirinya bersama kepala dinas PU Nunukan, Abdul Azis Muhammadiyah dan kasubdin Pengairan, Sofyang diperiksa sebagai saksi terkait keterlibatannya dalam kasus dugaan penyuapan terhadap dua anggota sat tipikor Polda Kaltim.
Lewat pengacaranya, M Hasoloan Sinaga SH, ia bahkan melayangkan somasi masing-masing kepada Kapolres Nunukan, aktifis LSM Lingham, Jamhari Ismail termasuk kepada pimpinan redaksi Koran Kaltim, Syarkowi V Zahri.
“Klien kami menyatakan dan membantah keras isi pemberitaan tersebut,”kata Hasoloan.
Khotaman lewat pengacaranya itu mengatakan, pemberitaan korankaltim edisi 11 Desember 2008, yang pertama kali memuat berita soal dugaan suap itu, sama saja telah melakukan pembunuhan karakter terhadap Khotaman, baik selaku pribadi maupun sebagai pejabat publik. Selain itu telah mencemarkan nama baik, fitnah dan pencemaran terhadap seorang pejabat.
Ia juga menyoal pemberitaan korankaltim yang menurutnya tidak pernah melakukan wawancara atau konfirmasi terhadap Khotaman. Sehingga tindakan wartawan korankaltim dinilai melanggar kode etik wartawan Indonesia.
Pernyataan pengacara ini bertolak belakang dengan apa yang sudah dilakukan wartawan korankaltim di Nunukan, untuk mendapatkan konfirmasi dari tiga pejabat tersebut.
Tanggal 10 Desember 2008, sehari sebelum berita itu diterbitkan, korankaltim menyambangi kantor PU Nunukan. Namun ketiga pejabat ini tidak berada di tempat. Menurut keterangan seorang staf dinas PU Nunukan, ketiganya sedang mengikuti rapat di Jakarta.
Korankaltimpun lalu menghubungi nomor handphone Abdul Azis dan Khotaman, namun tidak aktif. Nomor lain Abdul Azis memang aktif, namun berkali-kali dihubungi tak juga dijawab. Upaya terakhir yang ditempuh, dengan mengirimkan pesan singkat ke nomor hendphone keduanya, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Nunukan, AKBP Purwo Cahyoko kepada korankaltim tadi sore, mengakui jika Abdul Azis, Khotaman dan Sofyang pernah diperiksa unit P3D Polres Nunukan.
“Iya benar, mereka sudah diperiksa di unit P3D Polres Nunukan. Mereka diperiksa karena hubungannya dengan dua oknum anggota sat tipikor Polda Kaltim, yang terperiksa dalam kasus terkait penyelidikan sejumlah dugaan korupsi di Nunukan,”ujarnya.
Ia mengatakan, apakah memang dalam kasus itu terjadi suap antara pejabat PU Nunukan dengan anggota tipikor Polda Kaltim tersebut, hal itulah yang perlu dibuktikan lebih lanjut dalam pemeriksaan yang dilakukan Propam Polda Kaltim.
“Soal status mereka (ketiga pejabat PU,red) itu masih sebatas saksi waktu menjalani pemeriksaan di Polres Nunukan. Kalau misalnya nanti akan dijadikan tersangka, itu Polda yang memutuskan. Kami hanya melakukan pemeriksaan,”katanya.
Sementara itu, aktifis LSM Jamhari Ismail, Kamis (19/12) kemarin melaporkan sejumlah bukti-bukti, yang menguatkan jika dua oknum polisi sat tipikor Polda itu pernah menerima fasilitas dari tiga pejabat PU Nunukan.
Diantaranya, plesir ke Tawau, Malaysia, yang langsung ditemani Abdul Azis Muhammadiyah, Khotaman dan Sofyang. Hal itu dibuktikan dengan manifest kapal regular Nunukan-Tawau yang menyebutkan nama serta nomor pas lintas batas (PLB) kelima orang itu.
Laporan yang disampaikannya itu langsung diterima wakapolres Nunukan, Kompol Indra Napitupulu.
“Laporan ini saya harap bisa disampaikan ke Kapolda Kaltim,”kata Jamhari.
Dua oknum tipikor Polda Kaltim itupun masih menerima sejumlah fasilitas lainnya dari pejabat dinas PU Nunukan.
Suyono salah seorang staf bina marga dalam keterangannya kepada wartawan sebelumnya, mengatakan, dirinyalah yang membayari makan minum termasuk hotel kedua anggota polisi itu. Uang itu diantaranya sebesar Rp4 juta, diberikan oleh Khotaman.
Informasi lain yang sempat diperoleh korankaltim, Abdul Azis dalam pemeriksaan di Polres Nunukan, sempat mangkir dua kali saat hendak diperiksa.
“Sebenarnya dia mau kami hadirkan paksa dalam pemeriksaan itu, tapi tiba-tiba pada panggilan ketiga dia datang,”kata seorang perwira pertama di Polres Nunukan.(noe)

KPK Didesak Supervisi Kasus Pengadaan Tanah di Nunukan

NUNUKAN- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera melakukan supervisi dan mengambil alih kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Nunukan, yang telah menyeret tiga tersangka.
Ketua LSM L-Heirindo, Mansyur Gecong mengatakan, dalam kasus itu, ada dua bupati yang perlu dimintai keterangannya oleh penyidik Kejari Nunukan.
Padahal, untuk memeriksa keduanya, harus melewati birokrasi yang panjang, karena harus menunggu ijin presiden.
“Prosedur ini yang membuat keduanya tidak bisa diperiksa. Padahal harusnya kan ada kepastian hukum terhadap keduanya,”ujarnya.
Menurutnya, dengan segala keterbatasan yang dimiliki jajaran Kejari Nunukan, harusnya KPK segera turun tangan menuntaskan kasus dugaan korupsi itu.
“KPK kewenangannya lebih besar, tanpa ijin presiden bisa melakukan pemeriksaan terhadap bupati. Kejari Nunukan sejak bulan Juni sudah mengajukan ijin presiden, tapi sampai hari ini belum mendapatkan tanggapan. Makanya sudah saatnya KPK mengambil alih kasus ini,”katanya.
Mansyur mengatakan, desakan itu bukan berarti bentuk ketidakpercayaan terhadap aparat kejaksaan di Nunukan.
“Kami memberikan apresiasi positif atas upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Kejari Nunukan. Hanya saja, kepastian hukum ini yang perlu dilakukan terhadap dua bupati itu. Nah sekarang, Kejari tidak bisa melakukan pemeriksaan karena belum ada ijin presiden,”katanya.
Mansyur mengatakan, akibat lambatnya pemeriksaan terhadap bupati Nunukan, Abdul Hafid Ahmad dan bupati Bulungan, Budiman Arifin, masyarakat yang tidak faham atas proses ini, justru menuding Kejari telah diskriminatif dalam penegakan hukum.
“Kesan yang muncul kan seperti itu. Akhirnya kejari disebut tebang pilih,”katanya.
Menurutnya, riak-riak kecil sudah mulai bermunculan seperti insiden yang terjadi di PN Nunukan, Senin lalu. Hal itu akibat adanya kesalahfahaman dari sejumlah masyarakat.
“Makanya harus ada kepastian hukum dalam hal ini. Apapun hasil proses hukum nantinya, masyarakat juga harus lapang dada menerimanya,”katanya.
Dalam kasus pengadaan tanah tahun 2004 silam, kerugian negara diperikarakan mencapai Rp7 miliar yang diambilkan dari APBD Nunukan tahun 2004.
Kejari Nunukan telah menetapkan tiga tersangka menyusul penahanan terhadap Pj Sekcam Nunukan Selatan, Arifuddin, mantan bendahara Setkab Nunukan, Simon Sili dan kepala BPN Nunukan, Darmin Djemadil.(noe)

Kamis, Desember 18, 2008

Soal Dugaan Suap, Pemkab Nunukan Lepas Tangan

NUNUKAN- Pemerintah kabupaten (Pemkab) Nunukan tidak mau ikut campur dalam kasus dugaan suap terhadap dua oknum anggota sat tipikor Polda Kaltim, yang diduga melibatkan tiga pejabat dinas PU Nunukan.
Wakil bupati Nunukan, Kasmir Foret, mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kasus itu ke Polda Kaltim.
“Kalau sudah ke polda, kita tidak bisa ikut campur,”katanya.
Ia juga menegaskan, jika Pemkab Nunukan tidak akan melakukan intervensi terhadap pemeriksaan tiga pejabat yang sedang dilakukan unit P3D Polres nunukan.
“Itu kan pribadi masing-masing, mereka bukan disuruh pak bupati. Itu perbuatan oknum,”kata Kasmir yang ditemui, di kantor DPRD Nunukan, siang tadi.
Saat didesak bukankah ada inspektorat yang bisa memeriksa ketiga PNS itu, wabup hanya mengatakan, tugas inspektorat hanya menyangkut hasil pemeriksaan secara administrasi.
“Kalau misalnya ada temuan BPK, itu bisa saja. Kan itu diluar kalau sudah menyangkut kasus suap,”katanya.
Ia menegaskan, selama ini inspektorat terus berjalan melakukan pemeriksaan secara administrasi di setiap satuan kerja perangkat daerah di Nunukan.
“Mereka berjalan terus, tapi tidak ada temuan,”katanya.
Dengan demikian, Kasmir menyerahkan kepada Polda Kaltim, jika memang dalam pelaksanaan kegiatan di dinas PU Nunukan, ditemukan dugaan telah terjadinya penyimpangan.
Tiga pejabat PU Nunukan masing-masing kepala dinas PU, Abdul Azis Muhammadiyah, kasubdin bina marga, Khotaman dan kasubdin pengairan, Sofyang diperiksa unit P3D Polres Nunukan, karena diduga terlibat dalam kasus suap yang telah menyererat dua anggota sat tipikor Polda Kaltim sebagai tersangka.(noe)

Rabu, Desember 17, 2008

Polisi Serahkan SPDP Pelaku Penghinaan dan Percobaan Pemukulan Jaksa

NUNUKAN- Penyidik Polres Nunukan, hari ini telah menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap tersangka, Ambramsyah, yang menjadi pelaku percobaan pemukulan dan penghinaan terhadap jaksa, saat berlangsungnya sidang, di pengadilan negeri Nunukan, Senin (15/12) lalu.
“Hari ini SPDP-nya sudah masuk ke Kejari Nunukan,”kata Kapolres Nunukan, AKPB Purwo Cahyoko, ditemui di kantor bupati Nunukan.
Kapolres juga menegaskan, hingga hari ini pihaknya masih melakukan penahanan terhadap pelaku, di Mapolres Nunukan.
“Prosesnya tetap berjalan, pelaku masih kami tahan. Kami tidak akan menghentikan kasus ini,”tegasnya.
Sementara itu, dari pantuan korankaltim di Kantor Kejari Nunukan, aktifitas para jaksa dan karyawan Kejari Nunukan, sudah kembali berjalan normal seperti biasanya.
Namun sejumlah polisi berpakaian preman tetap melakukan pengamanan di kantor yang beralamat di Jalan Ujang Dewa itu.
Kajari Nunukan, Suleman Hadjarati, sejak pagi sekitar pukul 09.00 wita, tak berada di kantor. Ia mengikuti kegiatan sosialisasi undang-undang mengenai trafficking di kantor bupati Nunukan. Pada kegiatan itu, tampak seorang anggota polisi yang memang ditugaskan sebagai pengamanan melekat pada Kajari.
Padahal, rencananya pada pagi ini, beberapa pimpinan etnis akan bertemu langsung dengannya untuk menyampaikan permohonan maaf atas insiden yang terjadi itu.
Kemarin, salah satu ketua etnis di Nunukan, sudah menemui Kajari.
“Kemarin memang ada yang menemui saya, hanya sekedar silahturahmi saja. Saya tidak melihat mereka dari adat melainkan sebagai tokoh masyarakat saja,”kata Kajari.
Kajari juga menegaskan, tidak ada yang perlu didamaikan dalam kasus itu. Sebab, insiden yang terjadi di PN Nunukan bukanlah dilakukan sekelompok etnis melainkan tindakan pribadi pelaku.
“Ini kriminal, bukan konflik antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Jadi tidak ada yang perlu didamaikan,”katanya.
Aksi keributan yang berlangsung di kejari Nunukan bermula saat berlangsungnya sidang dugaan korupsi di pengadilan negeri Nunukan. Sekitar pukul 17.00 wita, setelah meminta keterangan ahli dari kementrian negara lingkungan hidup, Muhammad Askari, ketua majelis hakim I Ketut Wiarta, menskors sidang.
Kasi pidana khusus (Pidsus), Hendri Prabowo yang juga menjadi JPU dalam perkara itu, hendak mengantarkan Askari keluar melalui pintu sebelah kiri ruang sidang.
Selanjutnya, handphone milik Hendri berdering, iapun mengangkatnya. Tiba-tiba Hendri tertawa dan kebetulan saja ia menghadap ke wajah Ambramsyah, salah satu pendukung terdakwa.
Ambramsyah akhirnya tersinggung, dan berjalan menuju ke arah Hendri yang jaraknya kira-kira 5 meter.
“Kenapa kamu ketawa-ketawa, jaksa anjing, jaksa asu,”maki Ambramsyah sambil menunjuk Hendri.
Namun belum sempat meraih Hendri, sejumlah polisi dengan sigap mengamankan pelaku.
“Hati-hati kamu ngomong bos,”jawab Gusti Hamdani, JPU lainnya yang juga sempat ditunjuk Ambramsyah.
Aksi Ambramsyah ini bukan kali pertama. Pada sidang dakwaan bulan Oktober lalu, ia juga sempat membuat keributan. Aksi itu dilakukannya karena kekecewaan atas tindakan jaksa yang dipandang diskriminatif dalam penegakan hukum.
“Yang besar-besar kenapa tidak ditangkapi?, ini tanah kami, kami tidak mau diinjak-injak di tanah kami sendiri,”katanya kesal.
Pasca kejadian itu, puluhan staf termasuk jaksa Kejari Nunukan, Senin (15/12) sore hingga Selasa dinihari bertahan di kantor. Mereka harus waspada, untuk menghindari serangan dari sekelompok orang yang diduga sebagai pendukung terdakwa dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal, mantan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basri dan mantan kabid pemantauan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi.
Pasca keributan di pengadilan negeri Nunukan, Senin sore, beredar isu jika pendukung para terdakwa yang berasal dari perkumpulan salah satu etnis di Nunukan ini, akan melakukan penyerangan ke kantor Kejari Nunukan. Suasana semakin mencekam ketika puluhan orang, yang diduga rekan pelaku, Senin sekitar pukul 20.00 wita, berkumpul di Mapolres Nunukan tempat pelaku di tahan.
Kantor Mapolres dan Kejari Nunukan, hanya dibatasi jalan selebar kurang lebih 5 meter. Untungnya isu penyerangan itu tidak terbukti, sebab, puluhan orang itu ternyata hanya ingin membesuk pelaku keributan.
Setelah bertahan sekitar 7 jam di kantor kejari Nunukan, puluhan karyawan dan jaksa ini, sekitar pukul 00.30 wita akhirnya meninggalkan kantor. Namun di mess jaksa Jl. Pembangunan, sejumlah jaksa tetap menyiagakan diri dengan bantuan pengamanan dari pihak kepolisian.
Atas kejadian itu pula, Selasa (16/12) kemarin, 2 peleton Brimob dari Tarakan, telah tiba di Nunukan.
“Itu memang ada kaitannya. Saya laporan ke Kapolda, kemudian Kapolda mengirimkan brimob. Kita tidak minta, tapi Kapolda yang mengirimkan untuk antisipasi,”kata Kapolres Nunukan, AKBP Purwo Cahyoko.(noe)

Jumat, Tim Propam Polda ke Nunukan

NUNUKAN- Direncanakan Jumat (19/12), tim dari Propam Polda Kaltim akan turun ke Nunukan. Kedatangan mereka ini untuk mengambil hasil pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang dilakukan unit P3D Polres Nunukan, terkait kasus dugaan suap terhadap dua oknum polisi sat tipikor Polda Kaltim.
Hal itu disampaikan Kapolres Nunukan, AKBP Purwo Cahyoko, kepada wartawan di Nunukan, hari ini.
“Saya tidak bisa memberikan keterangan soal hasil pemeriksaan yang kami lakukan. Nantilah, tanggal 19 tim propam kesini, silahkan tanya langsung,”ujarnya.
Purwo beralasan, pihaknya hanya ditugasi melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diperlukan Propam Polda Kaltim.
Sebelumnya Purwo mengatakan, dalam pemeriksaan yang dilakukan penyidik P3D Polres Nunukan, pihaknya telah memeriksa kepala dinas pekerjaan umum (PU) Nunukan, Abdul Azis Muhammadiyah, bersama kasubdin Bina Marga, Khotaman dan kasubdin pengairan, Sofyang. Ketiganya diduga ikut terlibat dalam kasus penyuapan yang menyebabkan dua anggota tipikor Polda itu masing-masing AKP Fanani dan Brigpol Yusuf, telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurutnya, selain ketiga pejabat dinas PU Nunukan itu, pihaknya juga telah memeriksa sejumlah kontraktor sebagai saksi.
Terkait dugaan suap yang melibatkan oknum PNS di dinas PU Nunukan, Inspektur Kabupaten Nunukan, Abdul Karim mengatakan, kalau benar kasus itu sudah masuk ke masalah hukum apalagi telah ditangani jajaran kepolisian, pihaknya tidak akan mencampuri urusan itu. Walaupun yang terlibat merupakan PNS dilingkungan Pemkab Nunukan.
"Bukan kami yang memeriksa, karena itu sudah masuk kasus hukum,"ujarnya.
Ia mengatakan, inspektorat baru akan memeriksa para PNS dilingkungan Pemkab Nunukan, jika ada masyarakat yang melaporkannya. Pihaknya pun melakukan pemeriksaan jika mendapat perintah dari pimpinan.
"Sejauh ini belum ada laporan dari masyarakat. Sebenarnya setiap tahun, kami melakukan pemeriksaan secara komprehensif. Tapi kalau sudah masuk kasus hukum seperti itu, kami tidak mencampurinya,"tegasnya.(noe)

Bukan Untuk Membanggakan Institusi

NUNUKAN- Kepala kejaksaan negeri Nunukan, H Suleman Hadjarati mengatakan, pemberitaan mengenai kasus-kasus korupsi di media massa, bukanlah dimaksudkan untuk membangga-banggakan institusi kejaksaan.
Hal itu sekaligus menepis tudingan, yang menyebutkan, jajaran kejari Nunukan merasa bangga jika mengekspose di media massa, penahanan para pejabat yang tersangkut kasus korupsi.
Dalam sejumlah hearing di DPRD Nunukan, beberapa pejabat selalu menyingggung langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan jajaran Kejari Nunukan.
“Betapa bangganya suatu instansi menangkap instansi lainnya, apalagi kalau terekspose dimedia,”kata Boyke, pejabat dinas kehutanan dan perkebunan Nunukan, menyinggung Kejari Nunukan.
Menurut Suleman, keterangan yang disampaikan dimedia massa itu tujuannya tidak lain agar masyarakat memahami dan bisa menyadari, bahwa ada yang salah dari perbuatan para pelaku korupsi itu.
“Jadi itu sebagai sarana untuk melakukan sosialisasi hukum,”katanya.
Menurutnya, media merupakan sarana efektif yang bisa menjangkau semua lini di masyarakat.
“Karena lewat media massa, mulai masyarakat kelas bawah sampai yang paling tinggi bisa membaca hal itu,”katanya.
Ia mengatakan, tidak mungkin dengan segala keterbatasan pihaknya harus melakukan pemaparan masalah hukum, di instansi-instansi pemerintah.
“Kalau kami menjelaskannya satu-satu, ditiap-tiap instansi, kapan selesainya?. Lagipula hanya PNS saja, kalau begitu yang bisa terjangkau,”katanya.
Ia mengatakan, pemberitaan itu sekaligus sebagai ajakan kepada masyarakat, untuk sama-sama ikut memusuhi tindak pidana korupsi.
"Semuanya sudah kami sampaikan, terserah masyarakat menilai. Intinya kami mengajak segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi,"ujarnya.
Menurutnya, karena korupsi sudah sangat mengakar dan membudaya, sehingga sangat sulit diberantas.
"Sehingga pendekatan kita dengan melakukan himbauan, slogan-slogan atau iklan-iklan tentunya dibantu pemerinth setempat. Kami ingin menyampaikan bahwa korupsi sama bahayanya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti narkoba dan Aids,"ujarnya.
Ia berharap, masyarakat menyadari bahwa ada haknya yang dirampok karena tindakan korupsi itu.
"Kalau semua masyarakat bersatu padu, kita berharap ada keseimbangan antara yang membenci tindakan korupsi dengan para pelaku,"katanya.(noe)

Selasa, Desember 16, 2008

Pendukung Terdakwa Korupsi Mengamuk, Kantor Kejari Nunukan Mencekam

Polda Kirimkan Dua Peleton Brimob, Antisipasi Kerusuhan

NUNUKAN- Puluhan staf termasuk jaksa Kejari Nunukan, Senin (15/12) sore hingga Selasa dinihari bertahan di kantor, Jl, Ujang Dewa. Mereka harus waspada, untuk menghindari serangan dari sekelompok orang yang diduga sebagai pendukung terdakwa dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal, mantan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basri dan mantan kabid pemantauan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi.
Pasca keributan di pengadilan negeri Nunukan, Senin sore kemarin, beredar isu jika pendukung para terdakwa yang berasal dari perkumpulan salah satu etnis di Nunukan ini, akan melakukan penyerangan ke kantor Kejari Nunukan. Suasana semakin mencekam ketika puluhan orang, yang diduga rekan pelaku, Senin sekitar pukul 20.00 wita, berkumpul di Mapolres Nunukan tempat pelaku di tahan.
Kantor Mapolres dan Kejari Nunukan, hanya dibatasi jalan selebar kurang lebih 5 meter. Untungnya isu penyerangan itu tidak terbukti, sebab, puluhan orang itu ternyata hanya ingin membesuk pelaku keributan.
Ceritanya sendiri bermula, saat berlangsungnya sidang dugaan korupsi di pengadilan negeri Nunukan. Sekitar pukul 17.00 wita, setelah meminta keterangan ahli dari kementerian negara lingkungan hidup, Muhammad Askari, ketua majelis hakim I Ketut Wiarta, menskors sidang.
Kasi pidana khusus (Pidsus), Hendri Prabowo yang juga menjadi JPU dalam perkara itu, hendak mengantarkan Askari keluar melalui pintu sebelah kiri ruang sidang.
Kemudian handphone milik Hendri berdering, iapun mengangkatnya. Tiba-tiba Hendri tertawa dan kebetulan saja ia menghadap ke wajah Ambramsyah, salah satu pendukung terdakwa.
Ambramsyah akhirnya tersinggung, dan berjalan menuju ke arah Hendri yang jaraknya kira-kira 5 meter.
“Kenapa kamu ketawa-ketawa, jaksa anjing, jaksa asu,”maki Ambramsyah sambil menunjuk Hendri.
Namun belum sempat meraih Hendri, sejumlah polisi dengan sigap mengamankan pelaku.
“Hati-hati kamu ngomong bos,”jawab Gusti Hamdani, JPU lainnya yang juga sempat ditunjuk Ambramsyah.
Sidang kemudian dibuka kembali untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi Herlina. Hanya saja, karena suasana tidak kondusif, MH langsung menskors sidang dan melanjutkannya pekan depan.
Aksi Ambramsyah ini bukan kali pertama. Pada sidang dakwaan bulan Oktober lalu, ia juga sempat membuat keributan. Aksi itu dilakukannya karena kekecewaan atas tindakan jaksa yang dipandang diskriminatif dalam penegakan hukum.
“Yang besar-besar kenapa tidak ditangkapi?, ini tanah kami, kami tidak mau diinjak-injak di tanah kami sendiri,”katanya kesal.
Setelah bertahan sekitar 7 jam di kantor kejari Nunukan, puluhan karyawan dan jaksa ini, sekitar pukul 00.30 wita tadi akhirnya meninggalkan kantor. Namun di mess jaksa Jl. Pembangunan, sejumlah jaksa tetap menyiagakan diri dengan bantuan pengamanan dari pihak kepolisian.
Kapolres Nunukan, AKBP Purwo Cahyoko mengatakan, pihaknya Senin malam kemarin telah menetapkan Ambramsyah sebagai tersangka.
“Itu sudah penyidikan, pelakunya sudah kami tahan. Ini kriminal murni, tetap kami proses hukum,”katanya.
Dari hasil pemeriksaan, jelasnya, pelaku ternyata ingin melakukan preasure agar jaksa di kejari Nunukan mundur dari kasus korupsi tersebut.
“Tapi kan tidak seperti itu, artinya ini kan tugas negara,”katanya.
Pihaknya sendiri akan terus melakukan pengamanan terhadap jajaran Kejari Nunukan. Bahkan Polres Nunukan mengerahkan sejumlah anggotanya untuk pengamanan melekat.
“Berapa jumlahnya tidak boleh disebutkan, nanti mereka tahu kekuatannya,”katanya.
Atas kejadian itu pula, Selasa hari ini, 2 peleton Brimob dari Tarakan, telah tiba di Nunukan.
“Itu memang ada kaitannya. Saya laporan ke Kapolda, kemudian Kapolda mengirimkan brimob. Kita tidak minta, tapi Kapolda yang mengirimkan untuk antisipasi,”katanya.
Menurutnya, jumlah anggota Brimob ini bisa saja bertambah nantinya.
“Kita lihat dulu perkembangannya, nanti bisa ditambah. Tapi mudah-mudahan ini tidak berkembang,”ujarnya.
Sementara, kepala Kejari Nunukan, H Suleman Hadjarati mengatakan, insiden yang terjadi di PN Nunukan tidak akan membuat pihaknya goyah.
“Kami profesional, melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang, dibawah sumpah jabatan, jaksa memang tugasnya melakukan penuntutan. Kalau ada insiden yang terjadi, karena masih dalam lingkup kurun waktu pelaksanaan tugas dan masih berpakaian dinas lengkap, tentunya itu bukan hanya pribadi tetapi institusi korps jaksa. Itu penghinaan institusi dan pejabat negara,”katanya.
Pihaknya tidak akan melakukan tindakan khusus untuk meningkatkan pengamanan terhadap para jaksa yang melakukan penuntutan kasus-kasus korupsi.
“Karena berapapun personil diturunkan, kalau tidak ada kesadaran masyarakat percuma saja. Kami tidak bisa melakukan kerja dengan baik tanpa dukungan dari masyarakat. Kalau ada tindakan seperti itu, berarti dia belum mendukung tugas kita, berarti dia tidak menghendaki pemberantasan korupsi dan penegakan hukum,”katanya.
Padahal, kata Kajari, dengan taat hukum, tentu tingkat kriminalitas menurun serta keamanan juga terjamin. Dampaknya, aktifitas ekonomi masyarakat bisa berjalan dengan baik.
Soal penanganan kasus hukum terhadap pelaku keributan, Suleman menyerahkan sepenuhnya pada aparat kepolisian.
“Kami tidak bisa mengintervensi, kalau aduan bisa saya cabut tapi itu kriminal. Tanpa diminta, polisi memang mengamankan masyarakat,”katanya.
Pagi tadi tokoh dari salah satu etnis itu telah bertemu Kajari untuk menyampaikan permohonan maaf. Hanya saja, kata Kajari, apa yang dilakukan Ambramsyah, murni dilakukan secara pribadi bukan kelompok.
“Tidak ada yang perlu didamaikan, karena ini bukan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,”tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Kajari mengatakan, pada malam kejadian itu pihaknya bukan mengantisipasi serangan dari rekan-rekan pelaku.
“Kami di kantor untuk berdiskusi dengan ahli yang kita hadirkan di persidangan, kebetulan sampai larut malam. Karena momen kehadirannya di Nunukan benar-benar kita manfaatkan untuk mencari ilmu,”katanya.(noe)

Dianggap Cemarkan Nama Khotaman, Aktifis LSM di Somasi


NUNUKAN- Lembaga bantuan hukum (LBH) Barisan Anak Bangsa (BAB) mengancam akan mengajukan tuntutan hukum secara pidana dan perdata terhadap aktifis LSM Lingham, Jamhari Ismail, jika tidak segera menyampaikan permohonan maaf melalui media massa.
M Hasoloan Sinaga, selaku penasehat hukum kasubdin bina marga, Khotaman, mengajukan somasi karena menilai Jamhari Ismail telah melakukan pembunuhan karakter baik secara pribadi maupun pejabat publik serta melakukan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah dan pencemaran terhadap seorang pejabat.
Hal itu dilakukan Jamhari Ismail dengan menjadi nara sumber koran kaltim, pada edisi Kamis (11/12) lalu dengan berita berjudul “Kepala Dinas PU Nunukan Diduga Suap Polisi”.
Dalam berita itu, Jamhari sebagai sumber berita dituding menginformasikan, jika kepala dinas PU Nunukan, Abdul Azis Muhammadiyah dan Khotaman telah diperiksa kepolisian resort Nunukan barkaitan dengan kasus dugaan penyuapan terhadap anggota tipikor Polda Kaltim.
“Bahwa isi pemberitaan yang demikian itu adalah pemberitaan yang tidak berdasarkan fakta dan secara implisit telah menuduh klien kami, Khotaman telah melakukan perbuatan suap terhadap polisi tipikor Polda Kaltim, yang bermaksud untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus korupsi di Kabupaten Nunukan,”kata Hasoloan, dalam surat somasi yang tidak dilengkapi tanggal dan nomor surat.
Hasoloan menilai, isi pemberitaan tersebut tidak benar. Ia menuntut agar Jamhari menyampaikan permohonan maaf di koran kaltim selama 7 hari berturut-turut, setengah halaman berwarna.
“Jika saudara Jamhari tidak mengabulkan tuntutan/permintaan klien kami tersebut, dalam tempo 2x24 jam setelah disampaikannya somasi ini, maka klien kami mengajukan tuntutan hukum baik secaa perdata maupun pidana,”ancamnya.
Dikonfirmasi terpisah, hari ini, Jamhari malah mempersilahkan Khotaman melakukan gugatan.
“Saya tidak akan pernah menyampaikan permohonan maaf. Silahkan laporkan, saya juga sudah siap melakukan gugatan balik,”katanya.
Jamhari mengatakan, somasi yang disampaikan Khotaman jelas telah merugikan dirinya.
“Secara fsikologis, somasi itu saja telah merugikan keluarga saya. Istri saya bisa langsung sakit karena tidak mengerti persoalannya. Mereka telah mengancam saya kalau seperti ini,”katanya.
Jamhari menyarankan, agar Khotaman dan PH-nya membaca kembali berita korankaltim yang dimaksud.
“Saya tidak pernah menyebutkan kalau Azis, Khotaman dan Sofyang pernah diperiksa terkait kasus suap. Itu pernyataan dari Kapolres saat ditanyai wartawan,”katanya.
Menurut Jamhari, dirinya sama sekali tidak berurusan pada persoalan pemeriksaan ketiga pejabat itu.
“Saya hanya melaporkan oknum polisi itu karena diduga menerima suap. Kalau orang-orang PU itu diperiksa, bukan saya yang berkomentar,”katanya.
Sementara itu, Suyono, staf bina marga Nunukan, yang dikabarkan mendampingi dua oknum anggota polisi, tipikor Polda saat berada di Nunukan, keberatan jika dirinya harus dikait-kaitkan dalam kasus dugaan suap itu.
“Saya tidak terlibat dalam kasus itu,”katanya.
Ia mengatakan, saat kedua polisi itu berada di Nunukan, dirinya hanya mendampingi selama keduanya melakukan pemeriksaan proyek, terkait penyelidikan kasus korupsi.
“Waktu ke lapangan saya membawa mobil sendiri, tidak sama-sama mereka di mobil. Apalagi sampai menyupiri mereka,”ujar Suyono membantah pernyataan salah satu oknum anggota tipikor, yang mengait-ngaitkannya dalam masalah itu.(noe)

Senin, Desember 15, 2008

Slip Biang Kerok, Diduga Dari Oknum Anggota DPRD Nunukan

NUNUKAN- Setoran dana sebesar Rp178 juta ke rekening dinas PU Nunukan, seperti yang dilaporkan LSM NCW ke Polda Kaltim, diduga berasal dari oknum anggota DPRD Nunukan.
Ketua DPRD Nunukan, Ngatidjan Ahmadi menegaskan, secara kelembagaan pihaknya tidak pernah memberikan bantuan kepada dinas PU Nunukan.
Hal itu disampaikan Ngatidjan sekaligus membantah pernyataan, AKP Fanani, oknum anggota tipikor yang tersangkut kasus suap.
Sebelumnya dalam keterangannya kepada wartawan, Fanani mengatakan jika slip sebesar Rp178 juta itu, bukan berasal dari pengusaha melainkan dari DPRD Nunukan sebagai bantuan untuk penanggulangan banjir di kecamatan Sembakung.
“Kalau secara kelembagaan, kami tidak pernah memberikan bantuan kepada dinas PU,”bantah Ngatidjan.
Apalagi, kata dia, di DPRD tidak ada pos anggaran untuk bantuan bencana seperti itu. Selain itu, dinas PU Nunukan juga tidak pernah meminta bantuan dana kepada DPRD Nunukan.
“Kalau dari oknum anggota DPRD Nunukan, bisa jadi. Tapi bukan DPRD secara kelembagaan,”tegasnya.
Dari penelusuran koran kaltim, lewat slip setoran BPD Nunukan, pada tanggal 7 September 2006, CV Surya Lestari telah menyetorkan uang senilai Rp178 juta ke rekening 0091405245, milik dinas PU Nunukan atas nama pemegang kas Nursiah.
Menurut sumber koran kaltim, CV Surya Lestari merupakan milik oknum anggota DPRD Nunukan, Am. Hanya saja, dalam manajemen perusahaan nama Am tidak disebutkan.
Hal itu untuk menghindari aturan perundangan yang menyebutkan, anggota DPRD tidak boleh terlibat dalam proyek yang menggunakan APBD.
Aktifis LSM Lingham, Jamhari Ismail menyebutkan, selain dari CV SL, ada sejumlah uang yang juga disetorkan ke rekening dinas PU antara lain Rp500 juta dari PT A, Rp700 juta dari PT AK, kemudian PT SC senilai Rp400 juta, dan PT P sebesar Rp500 juta.
Sedangkan sumber di dinas PU Nunukan mengatakan, selama ini setip pemenang lelang memang menyetorkan 10 persen dari nilai proyek ke rekening dinas PU Nunukan.
“Itu bukan rahasia umum lagi mas,”kata sumber itu.
Namun ia menegaskan, pihak PU tidak pernah meminta maupun mewajibkan para kontraktor untuk menyetorkan dana sebesar itu.
“Itu hanya ucapan terima kasih saja, seperti kebiasaan. Tidak pernah ada yang menyuruh mereka menyetor,”katanya.
Jamhari Ismail melanjutkan, sebenarnya kasus slip ini pernah dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 22 Januari 2008 silam.
“Itu sudah diregister di pembukuan KPK, tanggal 24 Januari 2008. Hal itu juga sudah saya sampaikan ke Kejaksaan Agung, sebelum kasus ini dilaporkan NCW ke Polda Kaltim,”katanya.
Dua anggota tipikor Polda Kaltim tersangkut kasus suap yang diduga dilakukan kepala dinas PU Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah serta kasubdin bina marga Khotaman dan kasubdin pengarian Sofyang.
Sebelumnya, kedua anggota polisi itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan terhadap aliran dana dari CV Surya Lestari ke rekening PU Nunukan.(noe)

Saksi Pernah Ingatkan Terdakwa



Pembentukan Panitia Lelang Menyimpang Dari Aturan

NUNUKAN- Sejak awal pelaksanaan kegiatan pembuatan dokumen Amdal, sekretaris Bapedalda Nunukan, Djoko Santosa melihat ada yang tidak beres. Karena itu, ia pernah mengingatkan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basari, selaku pimpinannya agar tidak melaksanakan kebijakan yang salah itu.
Dalam kesaksiannya pada persidangan Senin (15/12) di PN Nunukan hari ini, Djoko Santosa mengatakan, ia pernah mengikuti rapat pembentukan panitia lelang. Setelah itu, iapun berangkat ke Jawa. Namun sepulangnya ke Nunukan, ternyata konsep dalam rapat sebelumnya telah berubah. Karena, tiba-tiba saja banyak muncul nama-nama baru bahkan dua orang yang masih berstatus CPNS, dimasukkan dalam panitia lelang.
Djoko pun menolak membubuhkan paraf pada SK panitia lelang itu. Ia beralasan, nama-nama yang dimasukkan merupakan pengingkaran hasil rapat. Apalagi pembentukan panitia lelang itu menyimpang dari Keppres 080/2003. Dalam ketentuan itu disebutkan, yang bisa menjadi panitia lelang harus pernah mengikuti kursus.
“Saya sudah ingatkan itu bahaya, apakah tidak terjadi masalah. Tapi pimpinan (Hasan Basri,red) mengatakan nanti saja kita bahas,”katanya.
Namun, kata dia, tanpa ada pembahasan lebih lanjut, tiba-tiba telah dikeluarkan SK panitia lelang, walaupun tanpa diparaf dirinya selaku sekretaris.
Hasan Basri dan mantan kabid pemantauan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi dijadikan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal, yang diduga merugikan negara hingga Rp1,5 miliar dari APBD Nunukan.
Menurut Djoko, dengan keluarnya SK panitia lelang itu, dirinya sempat memprotes Hasan Basri. Namun Hasan ngotot tak mau merubah dengan alasan itu sudah menjadi keputusan rapat.
Djoko akhirnya mengundurkan diri dari jabatan pejabat penatausahaan keuangan (PPK) dan pengendali kegiatan. Dalam sidang kemarin, Djoko bahkan menumpahkan uneg-unegnya, karena Hasan Basri selalu membela Rahmat walaupun melakukan kegiatan yang salah. Rahmat merupakan salah satu ketua panitia lelang dalam kegiatan pembuatan dokumen Amdal.
Bahkan hampir dalam setiap kegiatan keluar daerah, hanya Rahmat yang diberangkatkan.
“Pernah ada surat tugas, saya tidak mau menyetujui. Karena Rahmat harusnya ke Solo tapi dia malah ke Jogja untuk diklat Amdal. Saya sempat emosional sampai membanting pintu,”katanya.
Pernyataan Djoko yang terkesan menyudutkan Hasan Basri, dinilai penasehat hukum terdakwa, sebagai luapan sentimen pribadi.
Selain menghadirkan Djoko dan kasubbit RKL/RPL, Herlina, dalam sidang hari ini JPU juga menghadirkan dua ahli masing-masing guru besar lingkungan kepidanaan Universitas Sumatera Utara, Prof dr Alvi Syahrin dan staf ahli kementrian negara lingkungan hidup, Muhammad Askari.
Dalam keterangannya dihadapan persidangan, Alvi menegaskan, pemrakarsa kegiatan Amdal atau UKL/UPL merupakan orang atau badan yang merencanakan kegiatan fisik.
Sedangkan Bapedalda, bukan pemrakarsa dalam kegiatan fisik itu sehingga instansi ini tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan anggaran.
“Yang bisa dikeluarkan hanya biaya pengawasan dan pembinaan teknis, bukan untuk pembuatan dokumen Amdal,”katanya.
Ia mengatakan, jika Bapedalda yang mengeluarkan anggaran, hal itu jelas bertentangan dengan PP 27/1999 tentang Amdal. Artinya, kegiatan itu dapat menimbulkan kerugian negara.
Ia juga mengatakan, instansi lainnya selaku pemrakarsa kegiatan fisik tidak boleh meminta Bapedalda untuk menjadi pemrakarsa Amdal.
Saat PH terdakwa menanyakan, apakah instansi yang melaksanakan kegiatan fisik bisa menitipkan anggaran di Bapedalda, Alvi hanya menegaskan, harusnya Bapedalda tahu kalau itu bukan kewenangannya.
Ia mengatakan, ketika Bapedalda telah melanggar aturan perundangan, berarti itu merupakan perbuatan melanggar hukum.
Kalaupun belakangan ada peraturan menteri yang dikeluarkan, itu hanya menyangkut kegiatan Amdal dan tidak membicarakan pelimpahan wewenang atau pembiayaan kegiatan Amdal.
“Kalau kegiatan Amdal tidak dilakukan, siapa yang bertanggungjawa?,”tanya PH terdakwa,”tentunya yang melakukan kegiatan harus bertanggungjawab,”jawab Alvi.
Terus dicecar pertanyaan dari PH terdakwa, Alvi mengatakan, peristiwa yang disidangkan ini sudah masuk dalam pelanggaran hukum karena bertentangan dengan aturan.
“Kita bicara unsur dalam tindak pidana korupsi untuk unsur melawan hukumnya. Nah secara formil, ada perbuatan yang bertentangan yang aturan. Saya tidak bicara tindak pidana Amdal. saya berharap PH membaca PP Amdal itu,”sarannya.
Menjawab pertanyaan PH yang lain, Alvi mengakui jika tak ada larangan mengubah kegiatan UPL/UKL menjadi Amdal.
“Yang jelas biaya yang dikeluarkan lebih besar, masalah rugi atau tidak itu perlu dikaji lagi,”katanya.
Saat diberikan kesempatan memberikan bantahan, Hasan Basri hanya mengatakan, pihaknya menjadi pemrakarsa kegiatan Amdal, atas permintaan dinas terkait.
“Disamping itu, karena hasil pertemuan dengan bupati dalam hal Amdal IPAL RSUD dan Kanal Sembakung-Sebuku. Keputusannya, yang ditunjuk Bapedalda untuk menganggarkan. Kemudian kami membuat rincian anggaran dan dana itu tidak dicantumkan di tempat lain selain Bapedalda,”katanya.
Itupun bukan Bapedalda secara langsung yang membuat dokumen Amdal, melainkan melalui perantara konsultan.
Atas hal itu, Alvi hanya kembali menegaskan, Bapedalda tidak bisa membiayai pembuatan dokumen Amdal.
“Saya hanya bisa menjawab, dalam pembuatan dokumen amdal dibiayai pemrakarsa,’tegasnya.(noe)

Simon Sili Bantah Pernah Tunjuk Arifuddin

NUNUKAN- Tersangka dugaan korupsi pengadaan tanah, Simon Sili membantah pernah menunjuk tersangka lainnya Arifuddin, karena mengganggap mantan lurah Nunukan Selatan itu sebagai sumber masalah.
Salah seorang kerabat Simon Sili mengatakan, tidak benar mantan bendahara Setkab Nunukan itu pernah menumpahkan kekesalannya kepada Arifuddin dengan menunjuknya.
“Kami sudah tanyakan langsung kepada Simon, ternyata dia tidak pernah melakukan tindakan itu,”kata adik kandung Simon, yang meminta namanya tidak disebutkan.
Ia mengatakan, hal ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan pemahaman negatif dari masyarakat.
“Kesannya kan tidak enak jadinya kalau seperti itu,”katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Simon Sili dikabarkan berkali-kali melontarkan kekesalannya kepada Arifudin, karena menganggap ialah sumber masalah itu.
“Gara-gara kamu sampai saya dipenjara disini,”kata Simon menujuk Arifudin, seperti ditirukan salah seorang yang pernah menjenguk kedua tersangka itu.
Penahanan Simon Sili dan Arifuddin, terkait kasus pengadaan tanah.
Penetapan Simon sebagai tersangka terkait jabatannya sebagai bendahara setkab Nunukan, yang mengeluarkan uang pembayaran tanah.
“Sebagai bendahara, dia punya kewajiban untuk memverifikasi data-data itu. Tapi alasannya, dia mencairkan dana tersebut atas perintah pimpinannnya yakni sekda Nunukan kala itu,”kata Kepala Kejari Nunukan, Suleman Hadjarati.
Menurutnya, selaku bendahara Simon memiliki kewajiban untuk melakukan verifikasi. Simon juga harusnya memberikan advis kepada yang memerintahkannya, jika pencairan dana tersebut tidak bisa dilakukan. Namun hal itu tidak dilakukannya dan justru ia terus bekerja sesuai perintah atasannya.
“Kalaupun ada perintah, akhirnya kepada dia-dia juga terakhir kalinya. Umpamanya, kamu harus kerjakan itu, nah tinggal dalam situasi bagaimana perintah pimpinan itu memaksa dia. Sehingga nanti kita lihat, siapa yang dimaksud memerintahkan dia itu. Kan kelihatan juga,”kata Suleman.(noe)

Belajar Dari Kasus Pengadaan Tanah di Nunukan (2-Habis)

Untuk lebih mepertegas posisi SPPT yang di sangkakan tidak sah tersebut, penulis memberikan sebuah gambaran tentang proses lahan yang di sengketakan, berdasarkan surat SPPT yang di buat tanggal 27 oktober 2004, menerangkan pada tanggal 11 Agustus 2004, telah dilakukan pengukuran oleh salah satu instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional Kabupaten nunukan ( BPN ), melakukan pengukuran terhadap lahan serta pembuatan peta tanah. Seperti yang disampaikan diatas.

Imral Gusti *)

Tahapan dalam menyelusuri SPPT untuk kepemilikan lahan diatas lahan garapan adalah salah satu meminta dan membuatkan surat pernyataan untuk diajukan pada pemerintah, dalam hal ini lewat pemerintah desa yang mengetahui, dengan mencantumkan luas lahan dan batas-batas lahan beserta saksi. Setelah itu pihak desa mengeluarkan nomor surat tanah yang telah dicatatkan lewat buku besar desa atau lurah. Desa akan memberikan surat SPPT dengan mempertimbangkan tidak terdapat pengarapan ganda dan status tanah masih dimungkinkan bisa digarap oleh masyarakat untuk di manfaatkan berkebun atau bersawah. Lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit apabila SPPT dinyatakan bukan dokumen yang sah untuk mendapatkan pengakuan kepemilikan atas alas hak atas tanah,.oleh pihak kejaksaan.
Ironis memang siapa yang sebenarnya berhak mengeluarkan Surat Tanah. apabila Lurah ataupun Kepala Desa sudah tidak mau lagi mennyetujui pembuatan SPPT untuk pengajuan SPPT oleh masyarakat Kabupaten Nunukan. Alasannya Pihak Lurah Atupun Kepala Desa takut di penjara, alasan ini mungkin mereka akan berpikir ulang karena penjara menanti mereka. Fakta itu cukup bagi jaksa menjerat dan menangkapi. Di balik itu, masyarakat ingin mendapatkan hak atas tanah yang semestinya berpihak pada kepentingan rakyat.
Kasus pengadaan tanah menyita perhatian penulis untuk meletakkan kasus ini sebagai persoalan sosial. Dilihat dari segi penguasaan berdasarkan SPPT yang dimiliki oleh Makmun Muhamad Yusuf sekeluarga tidak ada unsur konfliknya ataupun tumpang tindih dalam penggarapan lahan, yang sudah dilakukan semenjak tahun 1971. bahkan pemerintah memberikan pengakuan dengan menerbitkan SPPT 25 November 2001. dan telah melakukan pengukuran yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Nunukan. Pada tanggal 11 Agustus 2004. sesuai dengan kutipan dibawah ini:
Mengutip UU RI N0. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal : 19. yaitu : Tentang Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dalam UUPA 1960, Pasal 19. ialah :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pen daftaran tanah di sedluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan pereturan pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasai ini meliputi :
a. pengukuran, perpertaan, dan pembukuan tanah
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pertimbangan menteri agraria;
4. dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat ( 2) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tyersebut.
Penafsiran yang termuat disesuaikan kondisi daerah atau wilayah masyarakatnya melaluhi kaidah-kaidah yang berlaku lazim di masyarakat. Hak atas tanah bisa ditafsirkan pada subtansi hidup yang memberikan sumber kehidupan untuk keluarga yang memanfatkan tanah sebagai sumber ekonomi sekaligus fungsi social serta keadilan. Masyarakat pada kurun waktu di era orde baru, mengalami ketersumbatan pelayanan tentang cara mendapatkan secarik kertas hak garap diatas tanah yang sudah di garap. Kelaziman di daerah khususnya di wilayah Kabupaten Nunukan, untuk mendapatkan SPPT cukup, diurus pada tingkat Desa atau lurah, diatas kertas bermaterai selama ini tidak ada masalah bahkan pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini BPN cukup membantu masyarakat dalam membuat akte tanah, dasar dari pembuatan akte tanah dan serpitikat rujukannya adalah SPPT.
Berkaitan dengan pembebasan/pelepasan hak atas tanah, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak- hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Pasal : 3 yang berbunyi.
a. Meminta kepada para kepala daerah yang bersangkutan untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf C.
b. Meminta kepada panitia penaksiran tersebut pada pasal 4 untuk melakukan penapsiran tentang ganti kerugian mengenai tanah dan / atau benda-benda yang haknya akan dicabut.
Ketentuan hukum tentang Pencabutan Hak-hak atas tanah ini, telah diperbaharui beberapa kali, yang terakhir adalah berdasarkan Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006.
Dengan memperhatikan proses pembebasan/pelepasan hak atas tanah tersebut, tibul pertanyaan dimana letak muncul konflik? Justru penulis melihat Kepala Daerah dalam hal ini Bupati justru memberikan rasa aman dan keadilan pada pemilik lahan tersebut dilihat ada proses ganti rugi ( Tali asih ) yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 1961,Jo. Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006, disini terlihat letak kekeliruannya tuduhan jaksa, yang mempersoalkan tentang status tanah yang tertera Tanah Negara, jaksa seharusnya melihat dan mempelajari tahun mulai digarapnya tanah tersebut ( riwayat Tanah ).
Kejaksaan Negeri Nunukan saat ini sedang melakukan penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Ruang Terbuka Kota Nunukan bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Nunukan (Melanggar UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam penyidikan kasus ini Kejaksaan Negeri Nunukan selaku penyidik telah melakukan penahanan terhadap para Tersangka, salah satunya adalah atas diri Sdr. ARIFUDDIN,SE. yang ditahan sejak 03 Nopember 2008 s/d sekarang.
Bahwa penetapan Sdr. Arifuddin sebagai tersangka adalah karena yang bersangkutan sebagai mantan Lurah Nunukan Selatan yang pernah menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) dan sebagai anggota Tim Sembilan.
Bahwa memperhatikan proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan dalam kasus ini, Sdr. Arifuddin merasa telah menjadi “KORBAN KETIDAKADILAN DAN DISKRIMINASI” yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, karena Sdr. Arifuddin tidak memperoleh keuntungan dari kegiatan proyek pelepasan tanah tersebut. Adapun keberadaan Sdr. Arifuddin dalam kaitannya dengan proyek pelepasan tanah tersebut adalah karena jabatannya selaku Lurah Nunukan Selatan saat itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dan menerima uang sebesar Rp 7 milyar dari proyek pelepasan tanah tersebut, dalam hal ini H.RAMLI, Keluarga MAKMUN, CS., serta pihak-pihak lain tidak ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Negeri Nunukan?
Bahwa dengan proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, Sdr, ARIFUDDIN merasa “TELAH DIZHOLIMI”, dan diperlakukan secara tidak adil oleh Kejaksaan Negeri Nunukan. Bahwa Kejaksaan Negeri Nunukan dalam melakukan penyidikan tidak menerapkan “Prinsip Persamaan didepan Hukum –Equality of Law” dalam proses penyidikan kasus tersebut;
Dengan semangat reformasi agraria. Rasanya aneh sekali kalau jaksa hanya menyeret tiga nama dijadikan tersangka, dan juga tidak terpenuhi rasa keadilan pada kasus ini, sementara orang-orang yang berperan dan menentukan masih belum tersentuh oleh hukum, kalau jaksa betul-betul menegakkan hukum, proses dan tangkap juga yang terlibat tanpa pandang bulu dan diskriminatif, karena hukum itu tidak mengenal pangkat dan jabatan seseorang semua sama di mata hukum.(***)

*) Penulis adalah: Sekjen Barisan Anak Bangsa (BAB), Mantan Ketua Solidaritas Tani Indonesia ( STI ), Aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria ( KPA ). Aktivis mahasiswa 89-90

Belajar Dari Kasus Pengadaan Tanah di Nunukan (1)

Pembaharuan agraria (agrarian reform) adalah agenda yang inklusif dengan reformasi sosial secara menyeluruh. Hak-hak rakyat atas tanah di Indonesia di jamin secara khusus oleh Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA), termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan tiap-tiap warga Negara Indonesia baik, laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaatnya dan hasil yang baik bagi diri sendiri maupun keluarganya

Imral Gusti *)

Bahkan dalam penjelasan UUPA 1960 bagian II: 6. di tambahkan, … dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Tujuannya, bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Reforma agraria menjadi kebutuhan mendesak bagi ikhtiar menciptakan kemakmuran untuk masyarakat. UUPA tahun 1960, merupakan pedoman melaksanakan agenda-agenda reforma agraria di Indonesia dalam penataan system kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Seperti yang termuat dalam pasal 10 UUPA menegaskan: setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya di wajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dalam mencegah pemerasan. Dan pasal ini memberikan kita sedikit pemahaman UUPA memberikan mandat kewajiban pada pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan perlindungan hak atas tanah dalam bentuk pemberian alas haknya.
Kabupaten Nunukan merupakan pemekaran dari kabupaten induknya, Kabupaten Bulungan sejak tahun 1999. Dalam kurun waktu itu perkembangan pembangunan sangat pesat dalam membangun infra struktur. Berkaitan dengan hal ini, timbul masalah dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah lewat tim 9 ( sembilan ), menyangkut pembayaran tali asih. dalam kasus pembebasan lahan seluas 620.000 m² dalam pengukuran yang dilakukan oleh pihak BPN Kabupaten Nunukan seluas, 719.414 m². pada tahun 2004 dengan mengunakan anggaran daerah tahun 2004. besar anggaran tersebut RP 11.102.308.680,-00 ( Sebelas Milyar Seratus Dua Juta Tiga Ratus Delapan Ribu Enam Ratus Delapan Puluh Rupiah).
Kasus ini bermula ketika berdasarkan hasil audit BPK RI, Pemerintah Daerah diminta untuk melengkapi data-data/dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah yang dibebaskan.
Selanjutnya pihak Kejaksaan Negeri Nunukan melakukan penyelidikan hingga penyidikan, dan menyeret 3 anggota dalam Tim 9 ( Sembilan) menjadi tersangka dan sudah ditahan oleh pihak kejaksaan, Yaitu Bapak H. Darmin Djemadil, kepala BPN Kabupaten Nunukan, Simon Sili ( Bendahara ) dan Arifuddin, SE (mantan Lurah Nunukan Selatan).
Berdasarkan SK. Bupati No. 319/2004 dibentuk Tim Sembilan yang terdiri dari unsur pemerintahan daerah dan instansi vertikal yaitu : Bupati Nunukan, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, Camat dan Lurah serta di Bantu oleh sekretaris bukan anggota dan asisten tata pemerintahan dan kepala seksi hak atas tanah kantor pertanahan dan Pimpinan Proyek. Masing-masing dinas membuat kajian dan analisis berdasarkan tugas dan wewenangnya. Setelah melalui kajian-kajian dan dianggap cukup maka dilakukan pembayaran terhadap tanah tersebut sebagai tali asih oleh pemerintah daerah.
Sejauh mana keterlibatan panitia 9 dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Bupati selaku ketua tim dalam pengadaan tanah, telah memberikan mandat tugas pada sekretaris daerah untuk melakukan koordinasi dengan anggota tim lainnya. Mulai dari peyelesaian administrasi sampai pada pembayaran tanah. Sementara wakil ketua tim di jabat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan.
Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT (Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang dimiliki muncul kesimpulan sementara: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah kabupaten nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi kejaksaan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menangani kasus tersebut.
Investigasi yang penulis lakukan terhadap riwayat tanah tersebut yang di garap semenjak tahun 1971 oleh pihak keluarga Makmun. Muhamad Yusuf dan Sumiati Muhamad Yusuf serta Saparuddin Muhamad Yusuf ( keluarga Besar), informasi status tanah tersebut memiliki SPPT yang dicatatkan di kantor Desa Nunukan selatan tahun 2001. maka berdasarkan dokumen SPPT inilah pihak pengarap tanah memiliki lahan tersebut. Pertanyaannya dimana letak ketidak sah nya Dokumen tersebut. Penulis mencermati pada tahun 1971 sudah mulai melakukan pengarapan di atas lahan milik Negara sampai pada tahun 25 september 2001 si pengarap mendapat secarik kertas yang dinamakan SPPTdan dicatat dalam Buku Desa ( Arsip ), menyatakan si pengarap mendapatkan sebuah dukungan dokumen atas lahan yang digarap. Pemahaman umum terhadap tanah-tanah yang digarap di Kabupaten Nunukan hanya memiliki Dokumen SPPT dan itu sah sebagai dokumen pegangan masyarakat dan berlaku juga untuk membayar pajak hasil bumi
Berdasarkan data hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan, tanah yang dibebaskan tanggal 11 Agustus 2004 diukur oleh Saudara Jamaluddin dan digambar Rudi Agus, ST selaku staf Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan dengan hasil ukur 719414 m² ( 71, 94 Ha ) terdiri dari persil tanah milik H. Ramli H Ali seluas 261.250 m²( 26,13 Ha ) dan milik saudara Makmun seluas 458.164 m² ( 45,82 Ha ),dan berdasarkan penjelasan saudara Rudi Agus Priono tanah yang ukur berdasarkan luasnya saja sedangkan persil-persil tanah yang didalamnya tidak diukur. Adanya perbedaan selisih tanah yang dibebaskan. Adalah 620.000m² sementara tanah yang diukur seluas 719.414 m ².
Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT yang dimiliki tidak sah: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah Kabupaten Nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi Kejaksaan bahwa Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menanggani kasus tersebut.
Menurut penafsiran UUPA tahun 1960 pasal 16 tentang hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 (1) ialah: 1. Hak milik. 2. Hak Guna Usaha ( HGU ). 3. Hak Guna Bangunan (HGB ). 4. Hak Pakai. 5. Hak Sewa. 6. Hak membuka Tanah. 7. Hak memungut hasil Hutan. 8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut.(bersambung)

*) Penulis adalah: Sekjen Barisan Anak Bangsa (BAB), Mantan Ketua Solidaritas Tani Indonesia ( STI ), Aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria ( KPA ). Aktivis mahasiswa 89-90

Minggu, Desember 14, 2008

Soal Kasus Tanah, Anggota Panitia 9 ‘Cuci Tangan’

NUNUKAN- Satu persatu anggota penitia 9 pengadaan tanah tahun 2004 lalu, mulai bersuara. Setelah Arifuddin, giliran mantan kepala dinas pertanian dan peternakan (Dispertanak) Nunukan, Suwono Thalib, yang mengaku tidak bersalah dalam kasus itu.
Suwono yang kini menjabat kepala dinas kehutanan dan perkebunan (Dishutbun) Nunukan, ‘cuci tangan’ dan mengaku tidak bekerja dalam kepanitiaan yang diketuai langsung bupati Nunukan, Abdul Hafid Ahmad itu. Sehingga ia tak sependapat jika harus dimintai pertanggungjawaban.
Kepada korankaltim Suwono mengatakan, dirinya tidak pernah mengikuti rapat penentuan harga tanah yang akan dibebaskan.
“Saya tidak pernah tandatangan berita acaranya,”katanya.
Ia mengakui, saat rapat pertama dirinya sempat hadir. Rapat itu hanya membicarakan, jika ada tanah yang mau di jual.
“Jadi waktu itu cuma membahas, ada orang yang mau jual tanahnya,”katanya.
Sesuai tugasnya di panitia 9, kata Suwono, Dispertanak hanya ditugaskan menghitung tanam tumbuh yang akan diganti rugi.
“Tugas saya hanya menghitung jumlah tanamannya, kalau masalah status tanahnya, apakah itu termasuk tanah negara bukan tugas saya. Saya tidak tahu masalah itu,”katanya.
Kenyataannnya, sebutnya, di areal yang akan dibebaskan ternyata tidak ditemukan tanaman yang akan diganti rugi.
“Kami tidak menghitung tanaman waktu itu, karena memang tidak ada tanamannya. Saya tidak pernah turun ke lapangan,”katanya.
Iapun keberatan jika harus dimintai pertanggungjawaban dalam kasus yang telah menyeret tiga tersangka, masing-masing Pj Sekcam Nunukan Selatan, Arifuddin, mantan bendahara setkab Nunukan, Simon Sili dan kepala BPN NUnukan, Darmin Djemadil.
“Masing-masing dalam tim itu berbeda fungsinya. Saya tugasnya cuma itu (tanam tumbuh) setelah itu tidak ada lagi hubungannya. Masalah harga dan status tanah, itu ada tugas masing-masing,”katanya.
Apalagi, kata dia, saat penetapan harga tanah dan penandatanganan berita acara, dirinya sedang tugas ke luar daerah.
“Waktu penetapan harga saya tidak tahu, saya juga tidak tahu siapa yang menetapkan harga itu,”kata dia.
Pendapat Suwono ini bertolak belakang dengan Kajari Nunukan, Suleman Hadjarati.
Menurut Suleman, seluruh yang terlibat dalam panitia 9 kemungkinan besar akan ditetapkan sebagai tersangka seperti dua anggota lainnya yang telah mendekam di lembaga pemasyarakatan (Lapas) Nunukan.
Sembilan pejabat yang namanya terlibat dalam panitia 9 masing-masing, Abdul Hafid Ahmad, Darmin Djemadil, Kadrie Silawane, Faridil Murad, Suwono Thalib, Rahmadji Sukirno, Arifudin, Petrus Kanisius dan Yulius Riung.
Menurutnya, meskipun hanya pasif bukan berarti para pejabat ini tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.
“Nanti kami lihat, ada namanya pertanggungjawaban formil dan materiil,”kata mantan jaksa Kalianda ini.
Pada kesempatan yang sama, Suwono Thalib mengakui, jika dirinya pernah menerima honor dari kegiatan panitia 9 itu.
“Itu memang hak saya selaku panitia, tidak ada hubungannya dengan uang pembelian tanah. Itu saya terima secara sah,”kata Suwono.
Data yang diperoleh korankaltim, Suwono selaku anggota panitia 9 menerima honor Rp8,8 juta. Kegiatan pengadaan tanah seluas 62 hektar itu, diduga merugikan negara hingga Rp7 miliar dari APBD Nunukan tahun 2004 silam.(noe)

Perencana Kegiatan, Biang Kerok Korupsi

NUNUKAN- Kepala kejaksaan negeri Nunukan, Suleman Hadjarati menilai, selama ini perencana kegiatan merupakan biang kerok terjadinya sejumlah kasus korupsi di daerah ini. Menurutnya, dari hasil penyidikan, belum ada alasan untuk menjadikan para pengusaha sebagai tersangka.
Suleman mengatakan, dalam perbuatan korupsi itu tentunya yang perlu dilihat adanya kerjasama yang begitu rapi antara yang dikayakan dan yang terkayakan.
“Jadi begini, ada suatu proyek yang dikerjakan, secara aplikasi ternyata sudah benar. Misalnya ada pelelangan, kemudian dia (pengusaha) menjadi pemenang. Berarti itu sudah berjalan sesuai dengan ketentuan hukum berdasarkan Keppres 080/2003,”ujarnya.
Hanya saja, kata dia, sesuai aturan, kegiatan yang dilelangkan itu sebenarnya tidak perlu diadakan.
“Nah, siapa yang merencanakan ini, dialah yang menjadi biang keroknya. Jadi kami betul-betul, dalam menjatuhkan suatu hukuman didasarkan pada alat bukti itu, dasar perbuatan itu,”ujarnya.
Ia melanjutkan, jika para pengusaha itu mengikuti prosedur dengan baik, berarti tidak ada alasan menjerat mereka.
“Kan begini, pengusaha itu sudah ikut tender, disuruh ikut maka dia ikut juga. Persyaratan sudah diklarifikasi dan kualifikasi sudah memenuhi semua. Kenapa mesti harus menanggung itu?. Dia melakukan kegiatan itu sesuai dengan teken kontraknya, bagaimana mau dijatuhi hukuman?. Yang menyebabkan ini terjadi dialah yang bertanggungjawab,”ujarnya.
Namun Suleman menegaskan, bukan berarti pengusaha itu tidak bisa dijadikan tersangka.
“Ini masih kami gali terus. Kita lihat dulu, ada tidak misalnya kerjasamanya. Kerjasama dari awal, misalnya kalau pengusaha dimenangkan tender, ini harganya sebetulnya begini tapi ada kongkalingkong, ada kesepakatan. Ini yang tidak boleh,”kata dia.
Menurutnya, hal itu yang belum bisa dibuktikan dalam penyidikan yang dilakukan jaksa.
“Sejauh ini memang belum ada alasan menjerat kontraktornya. Dia sudah kerja sesuai dengan pekerjaannya, uang yang dia terima itu jasanya. Dia juga sudah bayar PPn,”ujarnya.(noe)

Jumat, Desember 12, 2008

Penyidik Polda Mengaku Dimanfaatkan Kadis PU

BALIKPAPAN - Satu dari dua penyidik Satuan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polda Kaltim yang dituduh dan telah diperiksa terkait dugaan korupsi kasus proyek jalan di Nunukan (Tribun, 12/12), membantah telah menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah.
"Itu tidak benar, kami tidak pernah menerima apapun, baik dari Dinas PU ataupun kontraktor," kata Ajun Komisaris Polisi (AKP) Fanani, selaku tertuduh dan terperiksa, saat ditemui Tribun di Mapolda Kaltim Jumat (12/12).
Beberapa hari setelah sampai di Balikpapan, AKP Fanani dan Brigpol Yusuf langsung menjalani pemeriksaan Propam Polda Kaltim. Mereka terkejut, karena telah dilaporkan menerima suap dari Dinas PU, terkait penyelidikan dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan di Nunukan.
Padahal kata Fanani, mereka justru mendapatkan keterangan dari beberapa kontraktor, bahwa nama mereka dimanfaatkan untuk memeras.
"Dia itu mantan pejabat pembuat komitmen di Dinas PU, inisialnya Sy. Bersama temannya, dia memeras para kontraktor. Mereka minta uang dan bilang untuk diberikan kepada penyidik Tipikor," kata Fanani.
Tribun juga sempat berkomunikasi dengan beberapa kontraktor. Salah satunya adalah Nugroho dari PT Prambanan dan Hj Kartini dari PT Buni Raya. Dalam pembicaraan yang juga didengarkan Fanani, keduanya mengaku dimintai sejumlah uang oleh Sy. "Kita dimintai uang sama dia (Sy), katanya untuk diberikan kepada penyidik Tipikor," ujar Nugroho.
Tidak hanya itu, Sy ternyata juga pernah meminta uang kepada PT Adi Karya. Alasannya uang tersebut untuk keperluan lebaran Dinas PU. "Diberi Rp 350 juta, dan dia tidak ada cerita dengan orang PU," ujarnya. Menindaklanjuti temuan ini, pihaknya akan melakukan pemeriksaan terhadap kontraktor, termasuk melakukan pemanggilan terhadap Sy.
Terkait penyelidikan di Nunukan, Fanani bercerita pada tanggal 2 November, dirinya bersama Brigpol Yusuf berangkat untuk menyelidiki dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan, menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara dalam proyek pembangunan jalan di Nunukan, karena Panitia Lelang menetapkan harga ekskalasi tidak sesuai dengan ekskalasi harga yang telah dipatok pemerintah pusat. "Setelah kita cek, ternyata para kontraktor sudah membayarkan kewajiban itu kepada kas daerah, jadi sudah tidak ada kerugian negara," katanya.
Selain BPK, penyelidikan ini juga menindaklanjuti laporan Nusantara Corruption Watch (NCW) dan Indonesia Crisis Center (ICC) beberapa waktu lalu ke Polda Kaltim. Dalam laporan itu, mereka juga menyebutkan terjadi penyuapan dari CV Surya Lestari (kontraktor) ke Dinas PU. Ternyata saat dicek penyidik, aliran dana Rp 178 juta itu ada pada rekening PU, namun itu dikirimkan dari DPRD Nunukan sebagai bantuan untuk warga.
Fanani menjelaskan, dana itu digunakan untuk pelebaran sungai yang sering banjir akibat pengerjaan jalan. Hasil penyelidikan di lapangan juga menyebutkan bahwa PT Buni Raya milik Hj Kartini telah mengerjakan proyeknya sesuai pekerjaan yang ditenderkan. "Dia (Hj Kartini) juga sudah membayar dampak ekskalasi harga itu kepada kas PU," kata Fanani.
Pada tanggal 3 hingga 9 November, pemeriksaan dilakukan terhadap Dinas PU dan para kontraktor. Hanya satu kontraktor yang belum dimintai keterangan yaitu Hj Kartini, yang berangkat ke Tawau untuk berobat. Fanani dan Yusuf lalu berangkat ke Tawau pada 10 November, untuk bertemu Hj Kartini. Namun mereka gagal bertemu, karena ternyata Hj Kartini sudah balik ke Makassar.
"Kita lalu pulang keesokan harinya dan melakukan pengecekan ke lapangan. Hasilnya tidak ada pelanggaran yang dilakukan Hj Kartini. Proyeknya jalan sesuai kontrak kerja, dan kewajiban yang dilihat sebagai potensi kerugian itu sudah dibayarkan," ujar Fanani.
Hanya satu perusahaan yang belum membayarkan kewajibannya, yaitu PT Adi Karya. "Karena menurut keterangan PT Adi Karya, Pemkab Nunukan punya utang dengan perusahaan ini," katanya.
Selama berada di Tawau, Fanani membantah telah ditangkap polisi Malaysia karena menggunakan identitas palsu. Ia juga membantah telah mengadakan pertemuan dengan saksi di luar jadwal pemeriksaan. "Itu tidak benar," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bidang Profesi dan Pengamanan Internal (Propam) sedang menyelidiki dugaan penerimaan suap penyidik dari Dinas PU Nunukan. Propam mengatakan pihaknya telah menemukan pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan kedua penyidik. "Untuk suapnya masih dalam fokus penyelidikan," ujar Kabid Propam, Kombes Pol Yoyok Subagiono.
Sementara itu, Direktur Reskrim Kombes Pol Arief Wicaksono mengatakan dirinya menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus suap ini kepada Propam Polda Kaltim. "Kita menghormati yang dilakukan Propam, karena beliau pemegang otoritas apabila ada pelanggaran yang dilakukan penyidik dalam menjalankan tugasnya. Biarlah mekanisme itu berjalan apa adanya, dan kita tunggu hasilnya," ujar Arief tadi malam. (bdu/tribunkaltim)