Rabu, Februari 25, 2009

PH Langsung Banding

Baik mantan Kepala Bapedalda Nunukan Hasan Basri maupun mantan Kabid Pemantuan dan Pengawasan Lingkungan Thoyib Budiharyadi hanya tertunduk lesu mendengar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Nunukan, Rabu (25/2) tadi. Keduanya tak menyangka, akibat merencanakan kegiatan pembuatan dokumen Amdal tahun 2006 lalu justru menyeret mereka ke penjara.
"Saya keberatan dengan putusan Hakim," kata Hasan Basri seusai sidang.
"Saya tidak tahu masalah Amdal, selama di persidangan kan yang dibahas pelaksanaan pelelangan Amdalnya. Sedangkan waktu itu saya sudah tidak di Bapedalda lagi," kata Thoyib Budiharyadi.
Saat pelaksanaaan pembuatan dokumen Amdal, Thoyib telah mejabat sebagai Sekretaris Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Nunukan.
Namun MH yang diketuai I ketut Wiartha punya pandangan lain. Karena bertindak selaku perencana kegiatan pembuatan Dokumen Amdal, keduanya divonis melanggar pasal 2 jo pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke (1), jo pasal 64 ayat (1) ke (1) KUHP.
"Kami akan banding," kata ketua PH terdakwa Rabhsody.
Menurut Rabhsody, putusan MH tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan termasuk argumentasi hukum dalam pledoi (pembelaan) terdakwa.
"Kasus ini pelanggaran administrasi, bukan pidana," katanya. (m23)

Koruptor Amdal Divonis 5 dan 4 Tahun Penjara

NUNUKAN-Majelis Hakim (MH) Pengadilan Negeri Nunukan, Rabu (25/2) hari ini menjatuhkan hukuman pidana 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan kepada mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kabupaten Nunukan Hasan Basri.
Pada hari yang bersamaan MH yang diketuai I Ketut Wiartha juga menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan kepada mantan Kabid Pemantauan dan Pengawasan Lingkungan Bapedalda Thoyib Budiharyadi.
Putusan ini lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Hasan Basri dengan pidana 6 tahun penjara dan pidana 5 tahun penjara kepada Thoyib Budiharyadi.
Dalam putusannya MH menilai kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembuatan dokumen Amdal di Kantor Bapedalda Nunukan. Sehingga kerugian keuangan negara melalui APBD Nunukan tahun 2006 mencapai Rp1,5 miliar.
Keduanya melakukan perbuatan korupsi seperti dalam dakwaan primer JPU yakni melanggar pasal 2 jo pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang- Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke (1), jo pasal 64 ayat (1) ke (1) KUHP.
"Terdakwa dinilai secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,"kata Ketut saat membacakan putusan.
Sidang pembacaan putusan kedua terdakwa dilakukan dalam waktu terpisah. Sidang tersebut dimulai sejak pukul 10.30 wita dan berakhir sekitar pukul 17.00 wita.
Tak kurang 40 personil gabungan dari Satuan Brimob Polda Kaltim, Sat Samapta, dan Satreskrim Polres Nunukan diturunkan untuk mengamankan jalannya sidang.
Meski putusan MH sangat mengecewakan kerabat kedua terdakwa yang mengikuti persidangan, namun jalannya persidangan tetap berlangsung aman.
Sidang tersebut menarik perhatian warga Nunukan, pasalnya ini merupakan kasus korupsi pertama yang bisa sampai ke pengadilan.
Sidang didahului pembacaan putusan terhadap terdakwa Hasan Basri dengan JPU Hendri Prabowo dan Suwanda. Setelah itu dilanjutkan sidang pembacaan putusan terhadap Thoyib Budiharyadi dengan JPU Kurnia dan Gusti Hamdani. Namun kedua terdakwa menggunakan Penasehat Hukum (PH) yang sama.
Dalam putusan itu disebutkan kedua terdakwa secara melawan hukum melanggar PP 27/1999 tentang Amdal, dan Kepmen Lingkungan Hidup nomor 17/2001 tentang jenis rencana usaha.
Keduanya merencanakan dan bertindak selaku pemrakarsa kegiatan padahal pemrakarsa yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah dinas teknis bukan bapedalda.
Begitu pula dengan biaya pembuatan Amdal, UKL dan UPL harusnya dibebankan kepada instansi teknis yang melaksanakan pembangunan fisik, bukan kepada Bapedalda.
Selain itu, terdakwa juga langsung menetapkan enam proyek fisik sebagai kegiatan yang dilakukan Amdal, tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu.
Sehingga ditemukan fakta, sejumlah proyek telah terlaksana sebelum Amdal dilakukan pada tahun 2006. Misalnya perluasan bandara telah dilaksanakan pada tahun 2005, Kanal Sebuku- Sembakung tahun 2004, Bendungan Sungai Bolong tahun 2006, Bendungan Sungai Bilal 2005, RSUD Nunukan tahun 2002 dan proyek pembangunan gedung gadis tahun 2006.
Padahal dalam PP 27/1999 tentang Amdal disebutkan, Amdal merupakan bagian dari studi kelayakan usaha kegiatan. Dengan demikian, Amdal harusnya sudah disusun sebelum kegiatan fisik dilaksanakan.
Fakta lainnya, sejumlah kegiatan proyek fisik itu seharusnya tidak perlu dilakukan dokumen Amdal. Seperti Sungai Bolong dan Sungai Bilal, yang tidak perlu Amdal karena luasan dan tingginya tidak memenuhi seperti disyaratkan. Untuk RSUD, yang disyaratkan tipe A dan B, kenyataannya RSUD Nunukan hanya tipe C.
Sementara dibidang perhubungan, perluasan bandara dilakukan Amdal jika pemindahan penduduk lebih dari 200 kepala keluarga dan lahan yang dibebaskan mencapai 200 haktar keatas.
Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan Suleman Hadjarati menyambut baik putusan MH. Menurutnya, putusan itu menunjukkan penegakan hukum masih bisa dilaksanakan di Nunukan. Apalagi selama berlangsungnya proses hukum semuanya bisa berjalan dengan aman.
Ia optimis pihaknya juga bisa membuktikan dua kasus dugaan korupsi yakni pengadaan tanah dan dana reboisasi yang saat ini tengah bergulir di persidangan.
"Ini berkat dukungan semua elemen di Nunukan," katanya.(m23)

Senin, Februari 09, 2009

Terdakwa Korupsi Amdal Dituntut 6 dan 5 Tahun Penjara

NUNUKAN- Jaksa penuntut umum (JPU) kasus dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal Bapedalda Nunukan, Senin (9/2) tadi menuntut mantan kepala Bapedalda Nunukan Hasan Basri dengan hukuman enam tahun penjara sedangkan mantan Kabid Pemantauan dan Pengawasan Lingkungan Bapedalda Thoyib Budiharyadi dituntut lima tahun penjara. Jaksa juga meminta majelis hakim menghukum keduanya membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Berdasarkan fakta persidangan, JPU dalam sidang di Pengadilan Negeri Nunukan menilai kedua terdakwa terbukti melanggar pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai mana dalam dakwaan primer.
Terdakwa dinilai secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
"Kami tidak menuntut mereka mengganti kerugian negara sehingga pasal 18 tidak bisa diterapkan," kata Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan Suleman Hadjarati SH MH usai sidang.
Pada persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim I Ketut Wiarta SH Mhum, tim jaksa berpendapat kedua terdakwa lewat perencanaan kegiatan pembuatan dokumen Amdal pada tahun 2005, secara melawan hukum telah melanggar PP 27/1999 tentang Amdal dan Kepmen Lingkungan Hidup nomor 17/2001 tentang jenis rencana usaha. Kegiatan itu mengakibatkan negara telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp1,5 miliar dari APBD Nunukan untuk membayar konsultan.
Seharusnya, kedua terdakwa tidak merencanakan kegiatan pembuatan dokumen Amdal karena hal itu bukan bagian dari tugas pokok dan fungsinya.
Kenyataannya, keduanya lewat program itu telah bertindak selaku pemrakarsa kegiatan Amdal yang berarti telah melangkahi instansi pelaksana kegiatan teknis. Keduanya meneken kontrak dengan konsultan Amdal.
"Harusnya Bapedalda tidak bertindak sebagai pemrakarsa kegiatan karena hal itu menjadi tugas instansi teknis dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perhubungan. Bapedalda hanya sebagai penilai Amdal," kata ketua tim JPU Hendri Prabowo SH MHum.
Selain itu, pembuatan dokumen Amdal yang merupakan prasyarat pembangunan fisik justru dilakukan setelah pekerjaan sejumlah proyek sudah berjalan. Misalnya perluasan bandara telah dilaksanakan pada tahun 2005, Kanal Sebuku- Sembakung tahun 2004, Bendungan Sungai Bolong tahun 2006, Bendungan Sungai Bilal 2005, RSUD Nunukan tahun 2002 dan proyek pembangunan gedung gabungan dinas tahun 2006.
Atas tuntutan tersebut, tim penasehat hukum terdakwa yang diketuai Rabshody langsung menyampaikan keberatan. Mereka akan menyampaikan pembelaan (pledoi) pada persidangan Senin (16/2) pekan depan.(m23)

Jumat, Februari 06, 2009

Mantan Pimpro DAK-DR Nunukan Ditahan

BALIKPAPAN,TRIBUN- Mantan pimpinan proyek kegiatan reboisasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kabupaten Nunukan Nazaruddin Semad, Jumat (6/2) pagi hari ini, dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sungai Jepun Nunukan.
Kepala Bidang Pengawasan dan Penyuluhan Badan Lingkungan Hidup Nunukan itu sejak akhir Desember tahun lalu telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi DAK-DR tahun 2001-2002, yang diduga merugikan negara hingga Rp1,9 miliar.
Tersangka yang tiba di kantor Kejari Nunukan, Jl Ujang Dewa, sekitar pukul 09.00 Wita didampingi penasehat hukumnya Rabshody SH. Setelah satu setengah jam menjalani pemeriksaan, iapun langsung di gelandang ke Lapas menggunakan bus tahanan Kejari Nunukan.
Nazaruddin lebih beruntung dibandingkan tersangka dugaankorupsi lainnya, yang langsung di jebloskan ke tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Ia sempat tiga kali diperiksa sebagai tersangka sampai akhirnya ia ditahan kemarin.
Kepala kejaksaan negeri Nunukan Suleman Hadjarati SH MH menjelaskan, tindakan penahanan baru bisa dilakukan agar pihaknya tidak tergesa-gesa menyusun berkas perkara. Sebab, dengan jumlah penyidik yang sangat minim, Kejari Nunukan juga tengah menangani dua kasus dugaan korupsi lainnya yang saat ini bergulir di pengadilan negeri Nunukan.
" Adminstrasinya harus kemi benahi sampai lengkap, jadi tidak terkejar-kejar dengan waktu penahanan yang akhirnya kami menjadi kerja ekstra terus. Ini kan agak santai, anggota saya juga bisa agak nyantai kerjaannya,"kata Suleman yang dihubungi melalui telepon selulernya.
Penahanan tersangka dilanjutkan penyerahan tahap dua dari penyidik ke jaksa penuntut umum.
" Tersangka, barang bukti dan berkas sudah diserahkan ke pentuntut. Penyidikan dianggap telah selesai (P-21),"katanya.
Jaksa penyidik Kejari Nunukan Satria Irawan SH menjelaskan, dalam kegiatan DAK-DR yang dilaksanakan tahun 2001 hingga 2002 di Kabupaten Nunukan yang anggarannya mencapai Rp21 miliar, diduga telah terjadi penyimpangan keuangan negara hingga Rp1,9 miliar. Proyek itu, dikerjakan kontraktor PT Dameru Putri Utama dan konsultan pengawas PT Rashmico Prima.
" Ada 500 hektar lahan di hutan lindung pulau Nunukan, seluas 300 hektar diantaranya tidak ditanami,"katanya.
Kasus itu bermula dari laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 2003 silam.
"Penyidik kasus ini memang hanya fokus pada temuan BKPK itu,"katanya.
Selain Nazaruddin, penyidik Kejari Nunukan juga telah menetapkan dua tersangka lainnya yaitu kuasa direktur PT Dameru Putri Utama Teddi Wiliam dan kepala cabang PT Rashmico Prima Nunukan, Djunaidi. Namun dua nama terakhir hingga kini masih buron, keduanya belum pernah memenuhi panggilan penyidik sejak tahun 2005 silam.
“ Kami sudah memasukkan keduanya dalam daftar pencarian orang (DPO), yang ditembuskan kepada pihak Kepolisian Resort Nunukan,”katanya.
Suleman mengatakan, pihaknya tetap melakukan berbagai upaya untuk menghadirkan kedua tersangka.
" In absentia itu kan kalau dia pernah diperiksa lalu melarikan diri. Ini sama sekali tidak pernah diperiksa,"katanya.
Kaburnya dua tersangka ini, sekaligus menegaskan kebobrokan pelaksanaan kegiatan reboisasi kala itu.
" Itulah kebobrokam mereka dulu itu. Mereka sendiri tidak mengerti, pengusaha diberikan pekerjaan yang begitu besar, kok tidak tahu dimana mereka. Mungkin itulah letak-letak dari masalah ini, malapetakanya disitu sehingga terjadi masalah,"ujarnya.(m23)