Senin, Juli 21, 2008

Keluhkan Pemberitaan Media, Tersangka Korupsi Merasa Dihakimi

NUNUKAN- Gencarnya pemberitaan media lokal mengenai penahanan tersangka korupsi pembuatan dokumen Amdal di Nunukan, ternyata membawa dampak yang luar biasa bagi diri maupun keluarga para tersangka. Tak hanya kepala Bapedalda Hasan Basri dan keluarganya, sekretaris Badukcapil Thoyib Budiharyadi juga merasakan hal yang sama.
“Tolong saya jangan dihakimi. Saya merasakan bagaimana kalian-kalian (wartawan,red) ini menghakimi saya melalui media,”keluh Hasan Basri kepada wartawan, saat di temui di rutan Polres Nunukan, baru-baru ini.
Menurut pria yang dijebloskan ke rutan Polres Nunukan sejak Senin (14/7) lalu ini, sejak gencar diberitakan di media massa, masyarakat menjadi berpandangan negatif terhadap dirinya.
“Di situ saya disebutkan merugikan keuangan negara sampai Rp1,6 miliar. Jadi seakan-akan saya yang mengambil uang sebanyak itu. Padahal saya tidak menerima apa-apa,”katanya.
Menurutnya, ada perbedaan persepsi antar pemahaman masyarakat terhadap hukum.
“Kalau yang mengerti tidak masalah. Tapi yang tidak mengerti pasti langsung memvonis saya bersalah. Saya yang mengambil uang itu. Padahal persidangan belum berjalan, kerugian negara juga belum tentu ada karena belum diaudit. Tapi karena diberitakan di media, masyarakat langsung bertanya kok Pak Hasan bisa begitu ya orangnya,”keluhnya.
Ia memohon, agar para kuli tinta tidak terlalu mem-follow up, pemberitaan tentang dirinya.
“Terutama foto saya kalau bisa jangan dimunculkan. Tapi itu hak kalian, terserah saja. Cuam saya minta tolong, kalau bisa janganlah,”katanya.
Dampak penahanan dan pemberitaan terhadap tersangka lainnya Thoyib Budiharyadi, juga dirasakan keluarga terdekatnya. Bahkan, sejak Thoyib ditahan pada Jumat (11/7) lalu, salah seorang anak tersangka tak mau lagi bersekolah.
“Mungkin anaknya merasa malu karena bapaknya di tuduh korusi. Dengar-dengar anak ini minta pindah ke Surabaya karena merasa malu,”kata sumber yang menolak disebutkan namanya.
Sementara itu, harapan kedua tersangka memperoleh bantuan pengacara dari Pemkab Nunukan, tegas-tegas di tolak kabag hukum Setkab Nunukan Djemmi.
Menurut Djemmi, Pemkab Nunukan tidak akan menyediakan pengacara seperti yang disebutkan tersangka kasus Amdal, Hasan Basri.
Menurutnya, Pemkab Nunukan tidak bisa mendampingi pejabat yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Baik itu kepada kepala Bapedalda Nunukan Hasan Basri maupun Sekretaris Badukcapil Thoyib Budiharyadi.
"Itu sudah menyangkut masalah pribadi, personal atau perorangan. Kalau kami berikan itu, berarti kami setuju dengan tindak pidana yang dilakukan,"katanya.
Dua pengamat nasional yakni Ryaas Rasyid dan Indra J Piliang, juga punya pendapat yang sama dengan Djemmi.
Pengamat politik CSIS Indra J Piliang mengatakan, secara etika upaya Pemkab Nunukan itu tak patut dilakukan.
"Karena nanti bisa terkena kasus Burhanuddin Abdullah (mantan gubernur BI,red) baru,"ujar Indra melalui telepon selulernya.
Ia berpendapat, sebaiknya niat itu diurungkan Pemkab Nunukan.
"Sebaiknya jangan. Kita memerlukan pertanggungjawaban keuangan yang bagus,"katanya.
Mantan menteri otonomi daerah Ryaas Rasyid mengilustrasikan hal itu dengan kasus Bank Indonesia ynag menyeret gubernurnya Burhanuddin Abdullah sebagai pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mengapa kasus Bank Indonesia terjadi, itu karena menggunakan dana BI untuk membayar pengacara,"katanya mengingatkan.
Sekedar gambaran, dana bantuan hukum bagi para mantan pejabat bank sentral yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan Dewan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, sebesar Rp100 miliar untuk keperluan bantuan hukum dan dana lobi di Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya, Burhanudin Abdullah diseret KPK.
Menanggapi penolakan Pemkab Nunukan itu, Hasan Basri tak mau berkomentar banyak. Namun, saat ini ia telah didampingi penasehat hukum yang dibiayainya sendiri, yaitu Rabhsody .
Berbeda dengan Hasan Basri, Thoyib Budiharyadi justru mengungkapkan kekesalannya terhadap Pemkab Nunukan, bahkan ia akan menuntut balik Pemkab jika kelak ia dinyatakan tidak bersalah.
“Kalau pemerintah tidak memberikan bantuan pengacara, jelas saya merasa di khianati,”kata Thoyib dengan wajah sedih bercampur kesal.
Ia mengatakan, sudah seharusnya Pemkab memberikan perlindungan hukum kepada aparatnya.
“Di perusahaan saja ada, masa’ di pemerintahan tidak ada,”kata sekretaris Badukcapil Nunukan ini.
Thoyib mengatakan, apa yang dilakukannya merupakan kegiatan pemerintah, sehingga jika terjadi apa-apa, pemkab harus turun tangan.
“Kan ini program pemerintah. Nanti tidak saya laksanakan dibilang tidak disiplin. Saya kerja ini bukan cuma cari uang. Kalau mau cari uang jangan di pemerintahan,”katanya.
Dikatakannya, dirinya sudah berkoordinasi dengan asisten III setkab Nunukan Taufiqurahman terkait permintaan bantuan hukum itu.
“Lalu pak Taufiq telpon asisten I Pak Karim, katanya tidak ada anggaran. Terus tanya di korpri, katanya sekretarisnya lagi struk ringan,”katanya.
Thoyib yakin, menyediakan pengacara bagi pejabat yang disangkakan korupsi karena melakukan kegiatan Pemkab, tidak dilarang.
Ia menceritakan pengalamannya, menjadi kuasa hukum Pemkab Nunukan saat menjabat sebagai kabag hukum setkab Nunukan diawal berdirinya kabupaten ini.
“Di Pemkab itu ada tim penyelesaian kasus-kasus. Itu ada dananya di bagian hukum. Termasuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka seperti saya,”kata Thoyib yang merasa Pemkab Nunukan lepas tangan atas kasus yang menimpanya.
Menurutnya, KORPRI sebagai organisasi masyarakat yang didalamnya orang-orang pemerintah, dapat menyediakan pengacara tentunya dengan dana dari bagian hukum setkab Nunukan.
“Jadi bisa dana itu digunakan. Termasuk tipikor. Karena yang saya lakukan ini proyek pemerintah bukan umum. Saya ini bukan robot, saya pegawai pemerintahan. Lain halnya kalau saya melakukan mark up,”ujarnya.
Tak mendapatkan bantuan hukum dari Pemkab Nunukan, Thoyib berencana mencari pengacara yang dibiayai sendiri.
“Tapi itu masih dibicarakan dengan keluarga. Soalnya saya lagi krisis, warung saya tutup lagi,”katanya.
Hasan Basri dan Thoyib Budiharyadi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar PP 27/1999 tentang Amdal dan Kepmen Lingkungan Hidup nomor 17/2001 tentang jenis rencana usaha. Mereka diduga terlibat dalam pekerjaan pembuatan dokumen Amdal melalui anggaran tahun 2006 pada kantor Bapedalda Nunukan yang meliputi, embung Sungai Bilal, embung Sungai Bolong, kanal Sebuku-Sembakung, gedung gabungan dinas kabupaten Nunukan, instalasi pengeloahan air limbah (IPAL) RSUD Nunukan dan perluasan bandara Nunukan, dengan kerugian negara akibat pekerjaan itu ditaksir mencapai Rp1,697 miliar.
Baik Thoyib maupun Hasan Basri, disangka melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(noe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Sampaikan Komentar Anda Terhadap Berita Ini