Senin, Desember 15, 2008

Belajar Dari Kasus Pengadaan Tanah di Nunukan (2-Habis)

Untuk lebih mepertegas posisi SPPT yang di sangkakan tidak sah tersebut, penulis memberikan sebuah gambaran tentang proses lahan yang di sengketakan, berdasarkan surat SPPT yang di buat tanggal 27 oktober 2004, menerangkan pada tanggal 11 Agustus 2004, telah dilakukan pengukuran oleh salah satu instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional Kabupaten nunukan ( BPN ), melakukan pengukuran terhadap lahan serta pembuatan peta tanah. Seperti yang disampaikan diatas.

Imral Gusti *)

Tahapan dalam menyelusuri SPPT untuk kepemilikan lahan diatas lahan garapan adalah salah satu meminta dan membuatkan surat pernyataan untuk diajukan pada pemerintah, dalam hal ini lewat pemerintah desa yang mengetahui, dengan mencantumkan luas lahan dan batas-batas lahan beserta saksi. Setelah itu pihak desa mengeluarkan nomor surat tanah yang telah dicatatkan lewat buku besar desa atau lurah. Desa akan memberikan surat SPPT dengan mempertimbangkan tidak terdapat pengarapan ganda dan status tanah masih dimungkinkan bisa digarap oleh masyarakat untuk di manfaatkan berkebun atau bersawah. Lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit apabila SPPT dinyatakan bukan dokumen yang sah untuk mendapatkan pengakuan kepemilikan atas alas hak atas tanah,.oleh pihak kejaksaan.
Ironis memang siapa yang sebenarnya berhak mengeluarkan Surat Tanah. apabila Lurah ataupun Kepala Desa sudah tidak mau lagi mennyetujui pembuatan SPPT untuk pengajuan SPPT oleh masyarakat Kabupaten Nunukan. Alasannya Pihak Lurah Atupun Kepala Desa takut di penjara, alasan ini mungkin mereka akan berpikir ulang karena penjara menanti mereka. Fakta itu cukup bagi jaksa menjerat dan menangkapi. Di balik itu, masyarakat ingin mendapatkan hak atas tanah yang semestinya berpihak pada kepentingan rakyat.
Kasus pengadaan tanah menyita perhatian penulis untuk meletakkan kasus ini sebagai persoalan sosial. Dilihat dari segi penguasaan berdasarkan SPPT yang dimiliki oleh Makmun Muhamad Yusuf sekeluarga tidak ada unsur konfliknya ataupun tumpang tindih dalam penggarapan lahan, yang sudah dilakukan semenjak tahun 1971. bahkan pemerintah memberikan pengakuan dengan menerbitkan SPPT 25 November 2001. dan telah melakukan pengukuran yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Nunukan. Pada tanggal 11 Agustus 2004. sesuai dengan kutipan dibawah ini:
Mengutip UU RI N0. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal : 19. yaitu : Tentang Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dalam UUPA 1960, Pasal 19. ialah :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pen daftaran tanah di sedluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan pereturan pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasai ini meliputi :
a. pengukuran, perpertaan, dan pembukuan tanah
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pertimbangan menteri agraria;
4. dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat ( 2) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tyersebut.
Penafsiran yang termuat disesuaikan kondisi daerah atau wilayah masyarakatnya melaluhi kaidah-kaidah yang berlaku lazim di masyarakat. Hak atas tanah bisa ditafsirkan pada subtansi hidup yang memberikan sumber kehidupan untuk keluarga yang memanfatkan tanah sebagai sumber ekonomi sekaligus fungsi social serta keadilan. Masyarakat pada kurun waktu di era orde baru, mengalami ketersumbatan pelayanan tentang cara mendapatkan secarik kertas hak garap diatas tanah yang sudah di garap. Kelaziman di daerah khususnya di wilayah Kabupaten Nunukan, untuk mendapatkan SPPT cukup, diurus pada tingkat Desa atau lurah, diatas kertas bermaterai selama ini tidak ada masalah bahkan pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini BPN cukup membantu masyarakat dalam membuat akte tanah, dasar dari pembuatan akte tanah dan serpitikat rujukannya adalah SPPT.
Berkaitan dengan pembebasan/pelepasan hak atas tanah, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak- hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Pasal : 3 yang berbunyi.
a. Meminta kepada para kepala daerah yang bersangkutan untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf C.
b. Meminta kepada panitia penaksiran tersebut pada pasal 4 untuk melakukan penapsiran tentang ganti kerugian mengenai tanah dan / atau benda-benda yang haknya akan dicabut.
Ketentuan hukum tentang Pencabutan Hak-hak atas tanah ini, telah diperbaharui beberapa kali, yang terakhir adalah berdasarkan Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006.
Dengan memperhatikan proses pembebasan/pelepasan hak atas tanah tersebut, tibul pertanyaan dimana letak muncul konflik? Justru penulis melihat Kepala Daerah dalam hal ini Bupati justru memberikan rasa aman dan keadilan pada pemilik lahan tersebut dilihat ada proses ganti rugi ( Tali asih ) yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 1961,Jo. Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006, disini terlihat letak kekeliruannya tuduhan jaksa, yang mempersoalkan tentang status tanah yang tertera Tanah Negara, jaksa seharusnya melihat dan mempelajari tahun mulai digarapnya tanah tersebut ( riwayat Tanah ).
Kejaksaan Negeri Nunukan saat ini sedang melakukan penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Ruang Terbuka Kota Nunukan bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Nunukan (Melanggar UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam penyidikan kasus ini Kejaksaan Negeri Nunukan selaku penyidik telah melakukan penahanan terhadap para Tersangka, salah satunya adalah atas diri Sdr. ARIFUDDIN,SE. yang ditahan sejak 03 Nopember 2008 s/d sekarang.
Bahwa penetapan Sdr. Arifuddin sebagai tersangka adalah karena yang bersangkutan sebagai mantan Lurah Nunukan Selatan yang pernah menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) dan sebagai anggota Tim Sembilan.
Bahwa memperhatikan proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan dalam kasus ini, Sdr. Arifuddin merasa telah menjadi “KORBAN KETIDAKADILAN DAN DISKRIMINASI” yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, karena Sdr. Arifuddin tidak memperoleh keuntungan dari kegiatan proyek pelepasan tanah tersebut. Adapun keberadaan Sdr. Arifuddin dalam kaitannya dengan proyek pelepasan tanah tersebut adalah karena jabatannya selaku Lurah Nunukan Selatan saat itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dan menerima uang sebesar Rp 7 milyar dari proyek pelepasan tanah tersebut, dalam hal ini H.RAMLI, Keluarga MAKMUN, CS., serta pihak-pihak lain tidak ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Negeri Nunukan?
Bahwa dengan proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, Sdr, ARIFUDDIN merasa “TELAH DIZHOLIMI”, dan diperlakukan secara tidak adil oleh Kejaksaan Negeri Nunukan. Bahwa Kejaksaan Negeri Nunukan dalam melakukan penyidikan tidak menerapkan “Prinsip Persamaan didepan Hukum –Equality of Law” dalam proses penyidikan kasus tersebut;
Dengan semangat reformasi agraria. Rasanya aneh sekali kalau jaksa hanya menyeret tiga nama dijadikan tersangka, dan juga tidak terpenuhi rasa keadilan pada kasus ini, sementara orang-orang yang berperan dan menentukan masih belum tersentuh oleh hukum, kalau jaksa betul-betul menegakkan hukum, proses dan tangkap juga yang terlibat tanpa pandang bulu dan diskriminatif, karena hukum itu tidak mengenal pangkat dan jabatan seseorang semua sama di mata hukum.(***)

*) Penulis adalah: Sekjen Barisan Anak Bangsa (BAB), Mantan Ketua Solidaritas Tani Indonesia ( STI ), Aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria ( KPA ). Aktivis mahasiswa 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Sampaikan Komentar Anda Terhadap Berita Ini