Senin, Desember 15, 2008

Belajar Dari Kasus Pengadaan Tanah di Nunukan (1)

Pembaharuan agraria (agrarian reform) adalah agenda yang inklusif dengan reformasi sosial secara menyeluruh. Hak-hak rakyat atas tanah di Indonesia di jamin secara khusus oleh Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA), termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan tiap-tiap warga Negara Indonesia baik, laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaatnya dan hasil yang baik bagi diri sendiri maupun keluarganya

Imral Gusti *)

Bahkan dalam penjelasan UUPA 1960 bagian II: 6. di tambahkan, … dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Tujuannya, bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Reforma agraria menjadi kebutuhan mendesak bagi ikhtiar menciptakan kemakmuran untuk masyarakat. UUPA tahun 1960, merupakan pedoman melaksanakan agenda-agenda reforma agraria di Indonesia dalam penataan system kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Seperti yang termuat dalam pasal 10 UUPA menegaskan: setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya di wajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dalam mencegah pemerasan. Dan pasal ini memberikan kita sedikit pemahaman UUPA memberikan mandat kewajiban pada pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan perlindungan hak atas tanah dalam bentuk pemberian alas haknya.
Kabupaten Nunukan merupakan pemekaran dari kabupaten induknya, Kabupaten Bulungan sejak tahun 1999. Dalam kurun waktu itu perkembangan pembangunan sangat pesat dalam membangun infra struktur. Berkaitan dengan hal ini, timbul masalah dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah lewat tim 9 ( sembilan ), menyangkut pembayaran tali asih. dalam kasus pembebasan lahan seluas 620.000 m² dalam pengukuran yang dilakukan oleh pihak BPN Kabupaten Nunukan seluas, 719.414 m². pada tahun 2004 dengan mengunakan anggaran daerah tahun 2004. besar anggaran tersebut RP 11.102.308.680,-00 ( Sebelas Milyar Seratus Dua Juta Tiga Ratus Delapan Ribu Enam Ratus Delapan Puluh Rupiah).
Kasus ini bermula ketika berdasarkan hasil audit BPK RI, Pemerintah Daerah diminta untuk melengkapi data-data/dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah yang dibebaskan.
Selanjutnya pihak Kejaksaan Negeri Nunukan melakukan penyelidikan hingga penyidikan, dan menyeret 3 anggota dalam Tim 9 ( Sembilan) menjadi tersangka dan sudah ditahan oleh pihak kejaksaan, Yaitu Bapak H. Darmin Djemadil, kepala BPN Kabupaten Nunukan, Simon Sili ( Bendahara ) dan Arifuddin, SE (mantan Lurah Nunukan Selatan).
Berdasarkan SK. Bupati No. 319/2004 dibentuk Tim Sembilan yang terdiri dari unsur pemerintahan daerah dan instansi vertikal yaitu : Bupati Nunukan, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, Camat dan Lurah serta di Bantu oleh sekretaris bukan anggota dan asisten tata pemerintahan dan kepala seksi hak atas tanah kantor pertanahan dan Pimpinan Proyek. Masing-masing dinas membuat kajian dan analisis berdasarkan tugas dan wewenangnya. Setelah melalui kajian-kajian dan dianggap cukup maka dilakukan pembayaran terhadap tanah tersebut sebagai tali asih oleh pemerintah daerah.
Sejauh mana keterlibatan panitia 9 dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Bupati selaku ketua tim dalam pengadaan tanah, telah memberikan mandat tugas pada sekretaris daerah untuk melakukan koordinasi dengan anggota tim lainnya. Mulai dari peyelesaian administrasi sampai pada pembayaran tanah. Sementara wakil ketua tim di jabat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan.
Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT (Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang dimiliki muncul kesimpulan sementara: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah kabupaten nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi kejaksaan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menangani kasus tersebut.
Investigasi yang penulis lakukan terhadap riwayat tanah tersebut yang di garap semenjak tahun 1971 oleh pihak keluarga Makmun. Muhamad Yusuf dan Sumiati Muhamad Yusuf serta Saparuddin Muhamad Yusuf ( keluarga Besar), informasi status tanah tersebut memiliki SPPT yang dicatatkan di kantor Desa Nunukan selatan tahun 2001. maka berdasarkan dokumen SPPT inilah pihak pengarap tanah memiliki lahan tersebut. Pertanyaannya dimana letak ketidak sah nya Dokumen tersebut. Penulis mencermati pada tahun 1971 sudah mulai melakukan pengarapan di atas lahan milik Negara sampai pada tahun 25 september 2001 si pengarap mendapat secarik kertas yang dinamakan SPPTdan dicatat dalam Buku Desa ( Arsip ), menyatakan si pengarap mendapatkan sebuah dukungan dokumen atas lahan yang digarap. Pemahaman umum terhadap tanah-tanah yang digarap di Kabupaten Nunukan hanya memiliki Dokumen SPPT dan itu sah sebagai dokumen pegangan masyarakat dan berlaku juga untuk membayar pajak hasil bumi
Berdasarkan data hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan, tanah yang dibebaskan tanggal 11 Agustus 2004 diukur oleh Saudara Jamaluddin dan digambar Rudi Agus, ST selaku staf Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan dengan hasil ukur 719414 m² ( 71, 94 Ha ) terdiri dari persil tanah milik H. Ramli H Ali seluas 261.250 m²( 26,13 Ha ) dan milik saudara Makmun seluas 458.164 m² ( 45,82 Ha ),dan berdasarkan penjelasan saudara Rudi Agus Priono tanah yang ukur berdasarkan luasnya saja sedangkan persil-persil tanah yang didalamnya tidak diukur. Adanya perbedaan selisih tanah yang dibebaskan. Adalah 620.000m² sementara tanah yang diukur seluas 719.414 m ².
Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT yang dimiliki tidak sah: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah Kabupaten Nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi Kejaksaan bahwa Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menanggani kasus tersebut.
Menurut penafsiran UUPA tahun 1960 pasal 16 tentang hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 (1) ialah: 1. Hak milik. 2. Hak Guna Usaha ( HGU ). 3. Hak Guna Bangunan (HGB ). 4. Hak Pakai. 5. Hak Sewa. 6. Hak membuka Tanah. 7. Hak memungut hasil Hutan. 8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut.(bersambung)

*) Penulis adalah: Sekjen Barisan Anak Bangsa (BAB), Mantan Ketua Solidaritas Tani Indonesia ( STI ), Aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria ( KPA ). Aktivis mahasiswa 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Sampaikan Komentar Anda Terhadap Berita Ini