Senin, Desember 15, 2008

Saksi Pernah Ingatkan Terdakwa



Pembentukan Panitia Lelang Menyimpang Dari Aturan

NUNUKAN- Sejak awal pelaksanaan kegiatan pembuatan dokumen Amdal, sekretaris Bapedalda Nunukan, Djoko Santosa melihat ada yang tidak beres. Karena itu, ia pernah mengingatkan kepala Bapedalda Nunukan, Hasan Basari, selaku pimpinannya agar tidak melaksanakan kebijakan yang salah itu.
Dalam kesaksiannya pada persidangan Senin (15/12) di PN Nunukan hari ini, Djoko Santosa mengatakan, ia pernah mengikuti rapat pembentukan panitia lelang. Setelah itu, iapun berangkat ke Jawa. Namun sepulangnya ke Nunukan, ternyata konsep dalam rapat sebelumnya telah berubah. Karena, tiba-tiba saja banyak muncul nama-nama baru bahkan dua orang yang masih berstatus CPNS, dimasukkan dalam panitia lelang.
Djoko pun menolak membubuhkan paraf pada SK panitia lelang itu. Ia beralasan, nama-nama yang dimasukkan merupakan pengingkaran hasil rapat. Apalagi pembentukan panitia lelang itu menyimpang dari Keppres 080/2003. Dalam ketentuan itu disebutkan, yang bisa menjadi panitia lelang harus pernah mengikuti kursus.
“Saya sudah ingatkan itu bahaya, apakah tidak terjadi masalah. Tapi pimpinan (Hasan Basri,red) mengatakan nanti saja kita bahas,”katanya.
Namun, kata dia, tanpa ada pembahasan lebih lanjut, tiba-tiba telah dikeluarkan SK panitia lelang, walaupun tanpa diparaf dirinya selaku sekretaris.
Hasan Basri dan mantan kabid pemantauan dan pengawasan lingkungan, Thoyib Budiharyadi dijadikan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pembuatan dokumen Amdal, yang diduga merugikan negara hingga Rp1,5 miliar dari APBD Nunukan.
Menurut Djoko, dengan keluarnya SK panitia lelang itu, dirinya sempat memprotes Hasan Basri. Namun Hasan ngotot tak mau merubah dengan alasan itu sudah menjadi keputusan rapat.
Djoko akhirnya mengundurkan diri dari jabatan pejabat penatausahaan keuangan (PPK) dan pengendali kegiatan. Dalam sidang kemarin, Djoko bahkan menumpahkan uneg-unegnya, karena Hasan Basri selalu membela Rahmat walaupun melakukan kegiatan yang salah. Rahmat merupakan salah satu ketua panitia lelang dalam kegiatan pembuatan dokumen Amdal.
Bahkan hampir dalam setiap kegiatan keluar daerah, hanya Rahmat yang diberangkatkan.
“Pernah ada surat tugas, saya tidak mau menyetujui. Karena Rahmat harusnya ke Solo tapi dia malah ke Jogja untuk diklat Amdal. Saya sempat emosional sampai membanting pintu,”katanya.
Pernyataan Djoko yang terkesan menyudutkan Hasan Basri, dinilai penasehat hukum terdakwa, sebagai luapan sentimen pribadi.
Selain menghadirkan Djoko dan kasubbit RKL/RPL, Herlina, dalam sidang hari ini JPU juga menghadirkan dua ahli masing-masing guru besar lingkungan kepidanaan Universitas Sumatera Utara, Prof dr Alvi Syahrin dan staf ahli kementrian negara lingkungan hidup, Muhammad Askari.
Dalam keterangannya dihadapan persidangan, Alvi menegaskan, pemrakarsa kegiatan Amdal atau UKL/UPL merupakan orang atau badan yang merencanakan kegiatan fisik.
Sedangkan Bapedalda, bukan pemrakarsa dalam kegiatan fisik itu sehingga instansi ini tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan anggaran.
“Yang bisa dikeluarkan hanya biaya pengawasan dan pembinaan teknis, bukan untuk pembuatan dokumen Amdal,”katanya.
Ia mengatakan, jika Bapedalda yang mengeluarkan anggaran, hal itu jelas bertentangan dengan PP 27/1999 tentang Amdal. Artinya, kegiatan itu dapat menimbulkan kerugian negara.
Ia juga mengatakan, instansi lainnya selaku pemrakarsa kegiatan fisik tidak boleh meminta Bapedalda untuk menjadi pemrakarsa Amdal.
Saat PH terdakwa menanyakan, apakah instansi yang melaksanakan kegiatan fisik bisa menitipkan anggaran di Bapedalda, Alvi hanya menegaskan, harusnya Bapedalda tahu kalau itu bukan kewenangannya.
Ia mengatakan, ketika Bapedalda telah melanggar aturan perundangan, berarti itu merupakan perbuatan melanggar hukum.
Kalaupun belakangan ada peraturan menteri yang dikeluarkan, itu hanya menyangkut kegiatan Amdal dan tidak membicarakan pelimpahan wewenang atau pembiayaan kegiatan Amdal.
“Kalau kegiatan Amdal tidak dilakukan, siapa yang bertanggungjawa?,”tanya PH terdakwa,”tentunya yang melakukan kegiatan harus bertanggungjawab,”jawab Alvi.
Terus dicecar pertanyaan dari PH terdakwa, Alvi mengatakan, peristiwa yang disidangkan ini sudah masuk dalam pelanggaran hukum karena bertentangan dengan aturan.
“Kita bicara unsur dalam tindak pidana korupsi untuk unsur melawan hukumnya. Nah secara formil, ada perbuatan yang bertentangan yang aturan. Saya tidak bicara tindak pidana Amdal. saya berharap PH membaca PP Amdal itu,”sarannya.
Menjawab pertanyaan PH yang lain, Alvi mengakui jika tak ada larangan mengubah kegiatan UPL/UKL menjadi Amdal.
“Yang jelas biaya yang dikeluarkan lebih besar, masalah rugi atau tidak itu perlu dikaji lagi,”katanya.
Saat diberikan kesempatan memberikan bantahan, Hasan Basri hanya mengatakan, pihaknya menjadi pemrakarsa kegiatan Amdal, atas permintaan dinas terkait.
“Disamping itu, karena hasil pertemuan dengan bupati dalam hal Amdal IPAL RSUD dan Kanal Sembakung-Sebuku. Keputusannya, yang ditunjuk Bapedalda untuk menganggarkan. Kemudian kami membuat rincian anggaran dan dana itu tidak dicantumkan di tempat lain selain Bapedalda,”katanya.
Itupun bukan Bapedalda secara langsung yang membuat dokumen Amdal, melainkan melalui perantara konsultan.
Atas hal itu, Alvi hanya kembali menegaskan, Bapedalda tidak bisa membiayai pembuatan dokumen Amdal.
“Saya hanya bisa menjawab, dalam pembuatan dokumen amdal dibiayai pemrakarsa,’tegasnya.(noe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Sampaikan Komentar Anda Terhadap Berita Ini